Orang Jawa memiliki filosofi tentang pacul, pacul/cangkul merupakan papat kang ucul (empat yang lepas). Maksudnya adalah kemuliaan seseorang akan sangat tergantung pada empat hal. Yaitu, bagaimana seseorang menggunakan matanya, hidungnya, telinganya, dan mulutnya.
Mata itu seharusnya digunakan untuk melihat kesulitan rakyat, telinga digunakan untuk mendengar nasihat, hidung digunakan untuk mencium aroma wewangian kebaikan, dan mulut digunakan untuk berkata-kata baik penuh kearifan, adil, bijak. Jika, keempat hal tersebut luntur dari seorang pemimpin maka rendah sudah kedudukan serta kehormatannya.
Kemudian gembelengan mengandung makna besar kepala, sombong, dan suka bermain-main dalam menggunakan kehormatannya. Banyak pemimpin yang lupa bahwa dirinya sesungguhnya mengemban amanah rakyat, tetapi dia malah menggunakan kekuasaannya sebagai kemuliaan dirinya, menggunakan kedudukannya untuk berbangga-bangga di antara manusia, Semua hal dianggap mudah, semua hal dianggap dapat diganti dan dibeli, minta dihormati tanpa mau menghormati dan semakin melupakan apa itu nurani ???, menganggap kekuasaan itu karena kepandaiannya (adigang, adigung, adiguno).
Selanjutnya arti nyunggi nyunggi wakul-kul maksudnya adalah membawa bakul (tempat nasi) di kepalanya. Wakul sendiri menyimbolkan kesejahteraan rakyat, kekayaan negara, sumber daya, pajak, dan sebagainya. Banyak pemimpin yang setelah di atas lupa di bawah, bahwa dia mengemban amanah penting membawa bakul di kepalanya. Artinya bahwa kepala yang dia anggap sebagai kehormatannya berada di bawah bakul milik rakyat. Pemilik bakul lebih tinggi kedudukannya dibandingkan pembawa bakul karena ia hanyalah pembantu si pemiliknya (rakyat). Dan sekarang banyak sekali pemimpin yang masih gembelengan, melenggak lenggokan kepalanya dengan sombong, mereka pun bahkan bermain-main dengan kedudukannya. Masih ada anggapan kedudukan merupakan batu lompatan meraih “POPULARITAS” semu.
Meskipun dimaksudkan untuk selalu menghormati pemimpinan, namun tidak membutakan diri untuk meniai perbuatan pimpinan. Karena pemimpin juga memiliki kewajiban yang sama untuk selalu melakukan perbuatanyang benar, baik dan pener. Justru yang memimpin dituntut "lebih" dalam mengaktualisasikan budi pekerti luhur.
Pimpinan yang tidak memiliki budi pekerti yang luhur disebut tuwa tuwas lir sepah samun (Orang tua yang tidak ada guna dan makna sehingga tidak pantas di tauladani). Gundul-Gundul Pacul merupakan bahan renungan buat Pemimpin “Palsu” Antagonis. Pemimpin yang tidak memiliki budi luhur bukan pemimpin sejati.
Dengan demikian, makna kalimat ini adalah bahwa seorang pemimpin sesungguhnya bukan orang yang diberi mahkota, tetapi pembawa pacul untuk mencangkul (mengupayakan kesejahteraan bagi rakyatnya). Namun, pejabat tinggi yang sudah kehilangan empat indera tersebut akan berubah sikapnya menjadi congkak (gembelengan). kepemimpinannya itu berantakan sia-sia, gagal tugasnya mengemban amanah rakyat, hanya sebagai parasit bagi kesejahteraan rakyat.
Menulis memang gampang, bicara itu mudah, sebab lidah tak bertulang, tak semudah membalik telapak tangan. Pemimpin juga manusia tak luput dari salah dan dosa.