Mohon tunggu...
Pipiet Senja
Pipiet Senja Mohon Tunggu... profesional -

Seniman, Teroris Tukang Teror Agar Menjadi Penulis, Pembincang Karya Bilik Sastra VOI RRI. Motivator, Konsultan Kepenulisan, Penyunting Memoar: Buku Baru: Orang Bilang Aku Teroris (Penerbit Zikrul Hakimi/ Jendela)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kartini: Masih Banyak Istri Diperkosa Suami

17 April 2013   07:33 Diperbarui: 24 Juni 2015   15:04 920
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_255204" align="aligncenter" width="300" caption="dari; detikNews.com"][/caption]

(Dua)

Sejak itu Astri mewanti-wanti kedua anaknya agar tidak lagi mengadukan apapun yang terjadi dalam rumah mereka ke pihak keluarga besar terhormat itu. Percuma saja. Bukan pembelaan yang diperoleh, sebaliknya malah menambah luka hati belaka.

Kelakuan kepala keluarga dengan tanda kutip itu tentu saja sangat berimbas dalam kehidupan istri dan anak. Astri tak boleh ikut bergaul dengan masyarakat sekitarnya. Untuk mengaji saja harus minta izin berkali-kali. Manakala diizinkan juga dengan terpaksa, sepulang mengaji Astri akan habis diinterogasi. Kemudian dituduhnya macam-macam.

“Kamu bukan untuk mengaji, tapi cari lelaki!”

“Kamu pasti selingkuh dengan siapa itu, orang yang dipanggil Kyai itu, bah!

“Coba bilang, berapa kali kamu ngeseks dengan lelaki jahanam itu?”

“Sebetulnya iblis apa yang bersemayam dalam tubuh kamu yang tak pernah puas itu, hemm?”

Jika Astri tetap tidak mengaku, maka tanpa ayal lagi lelaki itu akan menghajarnya. Jadi, jika orang pergi mengaji untuk mendapatkan ketenangan, pulangnya membawa ilmu agama. Sebaliknya yang terjadi terhadap dirinya.

Astri memang mendapatkan ilmu agama dari kajian itu. Namun, sesampai di rumah dirinya akan mendapatkan selain cercaan hinaan, makian, ditambah bonus tapak spesial rasa jahim. Berupa bibir jontor, wajah biru lebam, masih mujur kalau tidak ada retak atau luka di bagian tubuh lainnya.

Untuk menyiasatinya Astri terpaksa akan sembunyi-sembunyi pergi mengaji. Acapkali ia akan menyisipkan waktu mengaji dengan saat dirinya harus mengambil honor di penerbit. Saat itu belum musim transferan uang melalui rekening, paling wessel yang harus diambilnya di kantor Pos.

Astri lebih memilih mendatangi langsung kantor redaksi dan penerbit, menawarkan karya-karyanya, seraya mengikat silaturahim dengan tim kreatif.

Tak ayal selain namanya semakin populer di kalangan penerbit, dirinya pun dikenal sebagai seorang penulis perempuan satu-satunya di Indonesia yang begitu gigih; wara-wiri menjajakan naskah sambil menggendong anaknya yang masih bayi.

“Ada apa dengan wajahmu?” selidik sahabatnya, Susi di penerbit Aksara, suatu siang yang terik.

“Tidak apa-apa, hanya terpeleset di kamar mandi,” sahutnya tanpa sadar anaknya yang berumur empat tahun menyimak obrolan mereka.

“Bukan begitu, Tante Susi,” sela Abang tiba-tiba.”Tadi subuh Mama dipukuli sama….”

“Pssst, Abang, Cintaku,” tukas Astri mencoba menghalangi celotehan Balita.

Namun, Abang dengan polos terus melanjutkannya. “Mama bilang kan kita gak boleh bohong?”

Astri terkesiap.”Eh, iya, tapi ini….”

“Ada apa, Abang sayang?” desak Susi.

“Mama lagi di kamar mandi, tahu-tahu Papa menyeret Mama, dipukuli deh. Tahu kenapa….”

Sepasang mata yang bening itu seketika berembun, kemudian menangkupkan kedua telapak tangan ke mulutnya, dan menangis tersedu-sedu. Astri membungkuk di hadapan si kecil, direngkuhnya tubuh mungil itu, kemudian didekapnya erat-erat.

Susi geleng-geleng kepala melihat ibu dan anak mendadak berpelukan. Ia melihat ada sejuta nestapa di mata sahabatnya. Namun, ia tak keliru, sama sekali tidak melihat air mata yang terurai di sana.

“Seharusnya kamu paksa dia berobat ke dokter jiwa,” saran Susi.

“Sudah, tapi dia keras kepala, merasa dirinya waras-waras saja. Malah menudingku yang sudah sakit jiwa.”

“Laporkan saja ke polisi, Astri. Jangan biarkan dirimu dan anakmu menjadi bulan-bulanannya. Mana tidak pernah beri nafkah pula. Aduuuh, apa sih yang membuatmu terus bertahan begitu?”

Astri terdiam seribu bahasa. Susi takkan bisa menerima alasan apapun yang akan diuraikannya. Tidak, seperti halnya orang tua di Bandung yang tak bisa menerima putri mereka diperlakukan kejam oleh sang menantu.

“Bapak tidak akan pernah menginjak rumahmu lagi selagi suamimu itu masih main tangan,” demikian ancam ayahnya, dan itu diwujudkannya sampai menutup mata.

Ibunya yang semula tetap berkunjung karena rasa kangen kepada dua cucu, akhirnya memutuskan mengikuti jejak sang suami di bulan-bulan terakhir hidupnya.

Tentu saja bukan tidak menimbulkan dampak segala tindak kekerasan yang telah dilakukan lelaki itu. Astri menjadi frigid total, tak mampu lagi merasai suatu kenikmatan dalam hubungan suami-istri.

Betapa sering dirinya hanya terdiam saja, manut, bagaikan mayat atau gedebong pisang. Sementara lelaki itu dengan ganasnya menuntut berbagai macam pelayanan.

Jika Astri berani menolak, maka tak pelak lagi akan terjadi kegaduhan luar biasa dari dalam kamar mereka.

Betapa sering pula pada akhirnya hanya terjadi semacam pemerkosaan. Astri akan merasakan kesakitan luar biasa setelah persenggamaan itu berlangsung.

Di kamar mandi, ia akan diam-diam menangis, mencoba berjuang sekuat daya. Melebur segala pedih-perih dengan semburan air dingin sebanyak-banyaknya, dan hanya dirinya sendiri yang merasakannya.

Malam demi malam, bulan demi bulan, dan tahun-tahun pun terus berlangsung dalam semesta lara.

“Cepatlah besar, buah hatiku,” bisiknya setiap kali menengok sepasang cintanya, saat merekamenyulam mimpi kanak-kanak.

Apa sesungguhnya yang dikhawatirkan dirinya selama itu? Anak-anaknya, benteng kehidupannya itu, tak memiliki seorang ayah, kehilangan sosok yang selayaknya dipanggil; Papa.

Ya, biarlah ia tanggung segala lara, segala nestapa dalam setiap detik hidupnya. Baginya yang penting Abang dan Butet tetap memiliki seorang bapak.

Sesuatu yang di kemudian hari, ketika anak-anak telah dewasa, justru mereka menyesalkan keputusannya ini.

Butet kerap mengerang dalam tidurnya, seketika terbangun dengan tubuh gemetar dan menggigil hebat.

“Maafkan Mama, ya, Cintaku,” bisik Astri.

Anak perempuan malang itu baru tenang jika ibunya telah mendekapnya erat-erat, membisikkan Ayat Kursi berkali-kali, meyakinkannya di telinganya. Bahwa semua akan baik-baik saja.

Abang tak pernah bisa dekat dan menghormati bapaknya. Acapkali Abang akan membalas perlakuan keji ayahnya dengan caranya sendiri; membuang baju kesayangan bapaknya dan berlagak tak tahu menahu, jika ditanyai perihal kehilangan baju itu.

Ajaibnya, Abang dan Butet tumbuh menjadi anak yang berprestasi. Mereka menjawab tantangan sang ibu:”Buktikan kepada dunia bahwa kalian hebat. Jadilah anak-anak Mama yang bisa diandalkan.”

Betapa Astri akan bersujud syukur setiap kali menerima raport anak-anak, dari tahun ke tahun keduanya selalu memberinya satu hal: kebanggaan!

@@@

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun