Mohon tunggu...
Pipiet Senja
Pipiet Senja Mohon Tunggu... profesional -

Seniman, Teroris Tukang Teror Agar Menjadi Penulis, Pembincang Karya Bilik Sastra VOI RRI. Motivator, Konsultan Kepenulisan, Penyunting Memoar: Buku Baru: Orang Bilang Aku Teroris (Penerbit Zikrul Hakimi/ Jendela)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Bukan Sandiwara

24 Maret 2015   19:21 Diperbarui: 17 Juni 2015   09:06 218
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik



Mpok Noeng tersentak dari keasyikannya meracik daun singkong bakal lalapan. Kupingnya mendengar ribut-ribut di luar rumah. Setengah berlari janda tua itu menyibak pintu dapur, keluar dari biliknya di bantaran kali Malang.
“Kenaaa lu! Kenaaa lu!”
“Sereeet, ayo sereeet di mariii!”
“Bakaaar! Bakaaar…!”
“Bawa ke lapangan sana gih!”
“Hooh, kebakaran entar…”


Manusia pengarak itu bergerak menuju lapangan, lahan milik proyek perumahan real-estate Kembang Jatoh. Begitu krismon melanda negeri, pimro-nya buron ke mancanegara. Proyek pengembang pun bener-bener jatoh, nggak ada kembang-kembangnya lagi sampai detik ini. Mpok Noeng tanpa sadar keluar dan terbawa arus. Bergabung dengan para tetangga, ikut menyaksikan prosesi eksekusi siang itu. Kodeng menurunkan karung bawaannya yang berdarah-darah.


“Bongkar atuh, Kodeng. Jieh, elo mah malah dipelototin gitu!” Pa Erte menegur anaknya.
“Kesengsrem si Bahenol Nerkom anak elo tuh, Dul,” kata Engkong Lihun.
“Mesranya dia eyong-eyong si Bahenol dari peraduannya, hahaha…” Hansip Niman nimbrung.
“Perasaan elo kayak ngeyong si Enih ‘kali, ya Deng?” Engkong Lihun lagi.


Rombongan pengarak terbahak-bahak. Kodeng cengengesan sambil mengerdip-ngerdipkan matanya. Dia lagi demen Enih anak Uwa Kodir, agen minuman cap ortu made in Citayem.
“Kalo gue perhatiin sih, kayaknya masih kalah ame si Jenong tuh, Kong!” Cing Dirun menimpali,”Bodinya kayak gitar Spanyol kerendem banjir. Kebayang aja, bulanan die ngabisin simpenan ikan pede ame terasi Mpok Noeng…” Mpok Noeng yang merasa disebut-sebut jengah dari kejauhan. Cepat-cepat dia menyelipkan tubuh kurusnya di balik badan Mpok Onah.


“Sempet ngabisin sepatu elo ‘kali, ya Deng? Sepatu sejak dibeli sampe jebolnya gitu kagak kenal air…” Pak Erte meningkahi lagi.
“Kebayang kalo lagi ngapelin si Enih, kecut ‘kali tuh perawan!”


Kapan lagi bisa ketawa nikmat begini. Kehidupan Jakarta di kawasan kumuh segitu kompleknya. Pak Erte garuk-garuk kepalanya yang nggak gatal. Masih banyak kerjaannya. Kudu bikin laporan paska banjir. Demi mendapat kucuran dana dari orang Kelurahan. Ada juga para aktivis LSM yang cuma ngelongok sambil lalu, jeprat-jepret foto, bagiin supermi alakadarnya, sudah begitu kagak nongol  lagi.
“Udah dah buruan, Deeeng! Gue masih banyak urusan!” teriaknya.
Bensin dibanjurkan ke onggokan karung yang penuh bercak darah. Kodeng menjetrekkan korekannya. Dalam sekejap api sudah menyala-nyala. Menit berikutnya bau daging hangus terbakar terbawa angin, mengawang-awang ke seantero kampung kumuh itu.


Mpok Noeng menahan rasa mual yang membelit-belit di perutnya. Angannya mau makan siang dengan lalapan daun singkong rebus, sambal terasi dan ikan peda bakar, buyar seketika. Tersilih oleh bayangan daging gosong makhluk yang suka mencuri simpanan terasi dan ikan peda di groboknya.


Belum lepas dari trauma banjir bandang yang melanda warga Jakarta. Sekarang sudah muncul lagi musibah berupa wabah penyakit leptospirosis. Suatu penyakit yang disebabkan oleh air seni tikus. Warga di kawasan bantaran kali Malang lebih parah lagi diterjang musibah kali ini.


Awalnya menerjang si Engkom, bocah umur lima tahun anak Mang Sidin. Anak imut-imut begitu mendadak demam. Tak mau makan, tak mau minum, muntah habis-habisan. Bi Kesih, ibunya baru bisa memberinya obat-obatan dari warung. Maklum, semuanya masih repot ngurusin rumah kontrakan yang sempat terendam air setinggi dua meter.


Mang Sidin, ayah Engkom sibuk bolak-balik ke kampungnya di Cileungsi. Minta sumbangan para famili buat beli gerobak soto mie, karena yang dulu terbawa arus banjir. Mpok Noeng cepat menawarkan jasa, mendampingi Bi Kesih pergi ke Puskesmas, mengobati Engkom. Tapi bukannya sembuh, kondisi anak itu malah makin parah. Hingga suatu malam bocah lucu itu kejer, sakit perut luar biasa, otot-otot badannya mengejang.


Jerit dan lengkingannya menyapu atap-atap rumah warga kampung. Ia mengamati mata Engkom. Kuning mirip kunyit, begitu pula sekujur tubuhnya. Perutnya semakin membuncit mirip orang busung lapar. Tiba-tiba Engkom sesak napas, semakin sesak, semakin sesak.


Perempuan lansia itu menutup selimut ke sekujur tubuh Engkom. Ia bergumam lirih,”Innalilahi wa inna ilaihi rojiuuun…” Bi Kesih meraung-raung. Nyelip juga gugatannya kepada Yang Kuasa di antara sedu-sedannya.


Sayup-sayup melalui spiker mushala terdengar pengumuman dukacita itu.
“Innalilahi wa inna ilaihi rojiun. Mohon perhatian daripada warga Erte 13. Telah meninggal dunia Siti Engkom Komariah, anaknya daripada Mang Sidin dan Bi Kesih. Tepatnya daripada jam tiga dinihari. Insya Allah akan dikebumikan nanti daripada bada lohor, sekarang disemayamkan di rumah daripada keluarga Mang Sidin,” seru Bang Jali yang suka mengaku-aku anak buah si Daripada Parto Tegal.


Tampaknya warga Erte 13 masih cuek bebek saja. Buktinya, orang di rumah kontrakan Mang Sidin tahlilan. Di seberangnya, rumah Tante Lience malah rame karaokean, ulang tahun 17-an bontotnya si Anet.


Warga sedikit sekali yang eling berkenan takziah. Lainnya sibuk dengan pekerjaannya masing-masing. Kan harus lebih mengutamakan kepentingan keluarga sendiri dulu. Nasib orang lain… emang gue pikirin?


Pagi itu di warung Bang Kijing, ibu-ibu sambil belanja ngerumpi seperti biasa. Mpok Noeng sambil bantu Bang Kijing melayani pembeli, menajamkan kupingnya.
“Udah tahu nggak, ibu-ibu!” kata Mami si Eneng,”Sekarang penyakit itu masuk ke rumah Mpok Ati. Tiga anaknya kena semua. Tanda-tandanya persis si Engkom!”


"Diobati nggak, Mami Eneng?” tanya Bu Nia.
"Semalam udah diangkut semuanya ke rumah sakit Tarakan. Pake mo pinjem kijang babe si Rudi segala tuh!”
“Dikasih kijangnya?” sela Bu Utik. Mpok Noeng sekilas melihat bibir Mami
si Eneng mengkerut, tanda tak setuju, lega, puas. Orang kampung sudah kenal perangainya. Dia suka membanggakan suaminya yang konon pegawai PLN, banyak proyek basahnya. Tapi pelitnya amit-amit!

“Uuuh, enak aja orang mobil masih gres gitu…” Tuuuh kan!
“Oh, sereeem!” Mpok Niah yang baru jebul langsung nyeletuk, “Kapan habisnya derita kita ini, ya?” keluhnya sambil menyibak antrian ibu-ibu, nyelak minta sambelan lengkap gopek.


Mpok Noeng cepat melayaninya sebelum  kena semburan omelannya.
“Makanya, kita kudu waspada menjaga kebersihan lingkungan. Nah, sejak hari ini… Marilah, rekan-rekanku sekalian, saudara sebangsa dan setanah air. Ayo, kita bersatu padu galang persatuan dan kesatuan. Demi bangsa, negara dan agama. Mari, kita ganyang makhluk bernama si Monyong itu. Merdekaaa…!”


Ibu Nia seketika berteriak-teriak lantang sambil mengepalkan jari-jarinya yang buntet berlemak. Nada bicara dan gayanya ala petinggi Orde Baru. Maklum, dia mantan ketua penggerak PKK, juga bekas orator kampanye parpol di masa lampau.


Mpok Noeng semakin miris hatinya mengetahui petaka itu kian merebak, menyapa satu demi satu tetangganya. Ia tak bisa berbuat banyak untuk meringankan beban mereka. Apalah dayanya, ia sendiri hanya seorang janda tua tak mampu, tak punya keluarga. Hidup dari belas kasihan warga. Kerjanya serabutan, kadang diminta bantu tukang warung.


Ia menjadi saksi atas musibah itu, ikut mengantar jenazah Mpok Ati dan tiga anaknya. Disambung jenazah Bu Juhro dan suaminya, Encang Midin, seorang menantu dan kedua cucu. Terus Engkong Lihun dan adik iparnya. Di sebelah selatan, Tante Mira dan pasangan kumpul kebonya juga diangkut ke rumah sakit. Disusul si Enda dan Betty bencong. Ya Allah… air mata Mpok Noeng bersimbah ruah membasahi tikar lapuknya.


Orang yang ke rumah sakit makin antri. Yang tak tertolong pun antri, sama minta diantarkan ke pemakaman. Pak Erte berkali-kali mengadakan rapat. Seluruh warga dimotivasi, digebah agar mencari sarang tikus lalu dihancurkan. Di setiap rumah disediakan karung khusus untuk bangkai si Monyong.


Moto kampung sekarang telah berubah; Tiada Hari Tanpa Membakar Tikus!
Euphoria, kebencian dan dendam terhadap makhluk bernama tikus semakin merebak di kawasan Erte 13. Menyala-nyala dalam dada tiap warganya. Melebihi benci dan dendam terhadap pemerintahan Orde Baru, yang dulu sempat dihujat habis sebagai pemerintahan megakorup. Apalagi ketika Cep Juki, anak emas Bang Haji Usin meninggal karena leptospirosis. Langsung ada pengumuman begini;


“Barang siapa yang berhasil menangkap seekor tikus, maka orang tersebut berhak mendapatkan uang sebesar ceban!”
“Ceban itu berapa, ya Mpok Noeng?” tanya Nyai saat mereka mencuci pakaian di pinggir kali.


Sebelum Mpok Noeng menjawab, Kodeng yang lagi mengintip Enih mandi, menyela. ”Alaaah, pan elo kejer-kejer aja kalo lihat si Monyong. Pake nanya-nanya segala. Lagian tikusnya juga sekarang mah udah langka!”


Mpok Noeng membenarkannya dalam hatinya. Sejak diiming-imingi ceban per ekor, seluruh warga semakin giat memburu tikus. Tak ada sudut dan jengkal yang luput dari perhatian warga. Semua dibongkar, diobrak-abrik. Bersamaan langka makhluk itu, upahnya malah makin berlipat-lipat.


“Duileeeeh!” Nyai teriak-teriak lagi sambil memanggil Kodeng yang semakin doyan ngintipin Enih basahan di kali Malang.


”Udah dah, jangan ngintipin si Enih mulu ngapa, Deng? Sekarang mah upahnya selangit, tauuuk? Sejete tuh, dengerin di spiker tadi. Sono gih cari si Monyong biar jadi jutawan…”


Mpok Noeng malah merasa iba kepada makhluk yang lagi diburu dan amat dibenci warga sekitarnya itu. Kadang ia merasa kesepian di biliknya tanpa ada sosok hitam keluyuran ke sana ke mari lagi.


Menurut nalarnya yang lugu, biar bagaimana pun makhluk itu kan sama makhluk-Nya. Sama punya hak untuk mendapatkan kehidupan dan berkembang biak di muka bumi ini. Malam senyap dan kian mencekam. Udara dingin terasa menggigit ngilu, mengalirkan nuansa ganjil di kalbu warga Erte 13. Mereka sudah sangat kelelahan, setelah hampir saban hari harus mengantar jenazah ke pemakaman.


Betapapun mereka masih berharap, mungkin hari esok suasananya akan berubah. Mpok Noeng masih membilang tasbih di bale-bale usangnya, ketika dari kejauhan terdengar bunyi menggelegar.


“Tabung gas di rumah Tante Lience meledaaak!”
“Kebakaraaan! Kebakaraaan!” Mpok Noeng dalam sekejap sudah ikut larut bersama massa. Sebagian warga langsung mencoba memberi bantuan. Namun, lebih banyak lagi yang memilih menyelamatkan harta dan kepentingannya sendiri.


Di antara kerumunan dan kepanikan warga itu, tampak Tante Lience kejer. Terdengar sebagian ceracauannya. Orang serumah bertempur hebat menangkap seekor cecurut kecil yang menyelundup ke dapur Tante Lience. Alih-alih berhasil menangkap makhluk yang sudah menjadi obsesi warga itu, ada yang menyenggol tabung gas, ada yang melempar puntung rokok. Selanjutnya semua bisa saksikan sendiri.


Mpok Noeng tepekur dan kembali ke biliknya. Ia merasa sangat lelah dalam ketuaan dan kesendiriannya. Ada yang mencubit-cubit kisi kalbunya. Inilah kenyataan hidup, bukan sekadar lenong rumpi, pikirnya. Gusti Allah sesungguhnya sedang menegur mereka yang telanjur khilaf. Hanya entah kapan mereka eling akan teguran-Nya.
Depok, Rajab 1423 Hijriyah
***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun