Meretas Ungu: Menulis Sebagai Terapi Jiwa
Novel yang satu ini kutulis di tengah kisuh-misuh rumah tangga, bahkan sampai mengungsi kerumah milik Ustadzah Yoyoh Yusroh di kawasan Depok Timur.
Ya, semuanya kugarap sepanjang hebohan tersebut, beberapa bulan sebelum puncak kekacauan yang nyaris saja membawa kami ke Pengadilan Agama.
Intinya, karena keputusan bapak anak-anak yang bersikeras akan menikah lagi, kemudian istrinya itu direncanakannya akan dibawa ke rumah alias disaturumahkan. Macam sinetron satu pondok dua cinta saja. Alamak!
Ketika itu, 2006, aku masih bekerja di Gema Insani Press sebagai staf ahli, bersama Mbak Yayuk, istri Tifatul Sembiring, dan Dian Yasmina Fajri.
Suatu hari aku mengajak Mbak Yayuk curhatan, saat itu aku sama sekali tak tahu bagaimana status istri pertama tokoh PKS ini.
“Mbak Yayuk, apakah pernah menghadapi situasi di mana kita harus merelakan suami yang ingin menikah lagi dengan perempuan lain?” tanyaku mengusiknya, menyelang dari saat rehat di ruang kerja kami.
“Insya Allah, saya sudah, Teteh sayang,” sahutnya terdengar kalem sekali, membuatku tertegun dan agak tak paham memaknainya.
“Maaf, sudah ini…, ehm, bagaimana, Mbak?”
“Iya, saya sudah mencarikan istri kedua untuk bapaknya anak-anak,” sahutnya pula, begitu tenang dan nyaris tanpa ekspresi.
“Maksudnya, Mbak Yayuk dipoligami, begitu? Istri ke berapa, ya?”
Wanita berwajah ayu, asli Lombok itu tersenyum tersipu-sipu.
“Saya istri pertamalah, Teteh sayang. Duh, Teteh ini bagaimana sih?”
Sejak itulah, setiap kali sosok ini muncul di kantor, aku mencoba mendekatinya dan melanjutkan curhatan. Spesial mengenai urusan poligami, ilmu ikhlas dan sabar, demikian yang ingin kuperoleh dari kedekatan kami.
“Dalam agama kita poligami kan memang diperbolehkan,” terngiang-ngiang terus kalimatnya yang mengawali rentetan tausyiahnya seputar; keluarga sakinah.
Maka, aku pun belajar menata hati, memperkuat kesabatan dan meneguhkan lagi setingginya, sekokohnya urusan ketegaran dan ikhlas. Luka hanya bisa terurai jika waktu yang membasuhnya, demikian pengalaman yang kupetik.
Sepanjang menulis novel Meretas Ungu yang kugarap dalam tempo relatif singkat, sekitar dua bulan saja, acapkali kepedihan itu begitu meluap. Aku harus lari ke kamar mandi, mengunci diri di dalamnya, kemudian membasahi sekujur tubuhku dengan air dingin sebanyak-banyaknya.
Tak jarang di tengah malam buta, dalam hening menjelang dinihari aku lama sekali tersungkur di atas sejadah. Mencoba mengadukan segala keluh-kesahku kepada Sang Maha Kasih. Setelah itu, aku kembali ke laptop, dan menumpahkan segala energi yang kumiliki, melanjutkan novel sesuai yang kuinginkan.
Menulis, akhirnya bagiku memang merupakan terapi jiwa!
Benar kata seorang sahabat yang sering diselingkuhi pasangannya. ”Daripada kita menangis, setres dan sakit kepala sendiri, mendingan juga kita berkarya. Karena aku seorang pebisnis, ya, aku salurkan saja segala kemarahan dan kegeraman itu pada duniaku ini.”
Sahabatku berhasil melampiaskan nestapanya sekaligus amarahnya untuk hal-hal yang positif; memajukan perusahaannya, menyejahterakan karyawannya.
Aku pun karena bisanya menulis ya berkaryalah. Betapa ingin kubuktikan kepada dunia bahwa aku bukanlah seorang perempuan lemah. Aku masih mampu berjuang, meskipun tanpa dukungan pasangan hidupku. Insya Allah; Bisa!
Novel Meretas Ungu adalah satu-satunya bukuku yang diformat dengan hardcover. Sungguh buku yang cantik, bernuansa ungu, warna favoritku. Aku meluncurkannya dan membedahnya di beberapa tempat; Riau, Singapura dan Mesir.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H