Mohon tunggu...
Darliana Kartamiharja
Darliana Kartamiharja Mohon Tunggu... -

Mantan Widyaiswara PPPPTK IPA. Tinggal di Bandung.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Berapa Lama Keberhasilan Implementasi Kurikulum 2013 Akan Diperoleh?

26 Agustus 2013   20:07 Diperbarui: 24 Juni 2015   08:47 333
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Implementasi kurikulum 2013 dapat kita pandang sebagai upaya peningkatan mutu pembelajaran. Masalah utama dari sejak dulu sampai saat ini dalam peningkatan mutu pembelajaran adalah setelah mengikuti pendidikan dan pelatihan, guru kembali melaksanakan pengajaran ceramah dalam pengajaran sehari-harinya di sekolah. Karena itu, di Indonesia peningkatan mutu pembelajaran masih berada pada tahap awal, yaitu tahap mengubah kebiasaan guru mengajar dari ceramah ke pembelajaran aktif. Tahap-tahap berikutnya akan berhasil dilaksanakan dengan baik, jika berhasil pada tahap awal. Karena itu, tahap awal merupakan kunci keberhasilan implementasi kurikulum 2013.  Berikut ini sekelumit pengalaman penulis dalam meningkatkan mutu pembelajaran IPA.

Pada tahun 1998 penulis melakukan penelitian di SMP Negeri Jalan Cagak Subang mengenai pembelajaran yang menggunakan SEA (Starter Experiment Approach) yang penulis peroleh dari seorang instruktur dari Jerman. Saat itu sekolah sedang libur, sehingga siswa yang diikutsertakan hanya 24 siswa yang rumahnya berdekatan dengan sekolah. Pertemuan pembelajaran dilaksanakan selama 3 hari dengan setiap harinya 2 kali pertemuan. Satu kali pertemuan selama 90 menit dengan waktu istirahat dari pertemuan pertama ke pertemuan berikutnya 30 menit.

Dalam pelaksanaannya, mula-mula siswa diminta untuk mengamati dan menuliskan hasil pengamatannya terhadap fenomena alam yang didemontrasikan oleh penulis. Kemudian setiap siswa diminta untuk menuliskan satu pertanyaan mengenai apa yang ingin diketahuinya dari hasil pengamatannya. Pertanyaan-pertanyaan itu kemudian disortir dan dituliskan di papan tulis. Pembelajaran dilanjutkan secara klasikal dengan meminta siswa menjawab pertanyaan-pertanyaan itu satu per satu dan mendiskusikannya.

Pada saat awal diskusi, siswa yang mau menjawab pertanyaan hanya empat siswa dan selalu siswa itu-itu juga. Karena itu, agar semua siswa mau ikut aktif menjawab pertanyaan dan berdiskusi, penulis menyampaikan tata-tertib belajar pada siswa dan memperlakukan siswa sebaik mungkin. Setelah tata-tertib belajar disampaikan dan penulis memperlakukan siswa sebaik mungkin, yang mau bertanya bertambah dengan dua siswa.Pada akhir pertemuan kedua jumlah siswa yang mau menjawab menjadi sembilan siswa. Pada hari ketiga pertemuan kedua, semua siswa mau menjawab pertanyaan dan terjadi perdebatan sengit antara siswa-siswa dengan kalimat-kalimat jawaban yang lebih panjang dan alasan-alasan yang lebih baik. Pada saat itulah penulis menyadari bahwa siswa-siswa itu sebenarnya pintar-pintar, tetapi selama ini kepintarannya tidak tampak, karena banyak siswa yang diam dan siswa yang berani menjawab hanya menjawab pertanyaan dengan kalimat-kalimat yang pendek. Pada saat itu pula penulis merasa senang dan tertarik terhadap pembelajaran aktif yang dilaksanakan saat itu, sehingga pada saat pulang penulis selalu ingin kembali untuk melaksanakan pembelajaran aktif dengan siswa-siswa tersebut, tetapi penelitian selesai dan penulis tidak dapat kembali ke sekolah itu.

Pada awal tahun 2009 dengan berbekal pembelajaran aktif yang penulis peroleh dari Jepang dan pengalaman saat penelitian di SMP Negeri Jalan Cagak,penulis datang ke SMA Negeri Pangalengan. Pada hari pertama, penulis menyampaikan cara-cara melaksanakan pembelajaran aktif yang menggunakan dialog prosedural dengan pertimbangan siswa-siswa yang dihadapi merupakan siswa-siswa yang terbiasa belajar dengan ceramah. Yang penulis pesankan saat itu adalah jangan mengubah pembelajaran aktif tersebut selama kurang lebih 3 bulan dengan harapan aktivitas dan minat siswa belajar siswa dapat meningkat jauh lebih baik dalam waktu yang sesegera mungkin, agar guru tidak keburu enggan untuk melaksanakan pembelajaran aktifnya.

Pendampingan pun dimulai. Pada bulan pertama guru fokus pada peningkatan sikap dan minat belajar siswa. Pada bulan-bulan berikutnya barulah fokus pada peningkatan keterampilan berpikir dan penguasaan konsep. Setelah tiga bulan, wajah rekan-rekan guru itu berseri-seri dan menceritakan keberhasilannya dalam meningkatkan hasil belajar siswa dengan perasaan bangga. Salah satu pengalaman yang menarik adalah suatu saat setelah pembelajaran berakhir rekan guru itu tidak memberi tugas pekerjaan rumah untuk siswa. Salah seorang siswa berdiri dan meminta diberi tugas. Rekan guru itu kemudian bertanya “apakah siswa yang lainnya juga ingin diberi tugas?”, semua siswa menjawab “ya”. Rekan guru itu keheranan, karena biasanya jika diberi tugas perkerjaan rumah, siswa-siswanya cemberut, tetapi saat itu tidak diberi tugas, malah minta diberi tugas.

Pada bulan-bulan berikutnya, rekan-rekan guru itu membelajarkan siswa dengan kegiatan kelompok. Rekan guru fisika melaksanakan praktik dengan sendok, garpu, gelas minum, dan kentang. Sekarang penulis yang keheranan, karena biasanya rekan-rekan guru fisika, kimia, dan biologi enggan melaksanakan praktikum dan tidak mau melaksanakan kegiatan belajar dengan kegiatan kelompok. Akhirnya penulis menyadari bahwa tidak perlu memaksa guru untuk melaksanakan pembelajaran praktik. Jika minat melaksanakan pembelajaran aktifnya sudah tinggi, keinginan untuk sering melaksanakan pembelajaran praktik akan timbul dari diri guru itu sendiri. Karena itu, dalam peningkatan mutu pembelajaran penulis hanya berpedoman pada “Mulailah dari apa yang dapat dilaksanakan guru saat ini untuk meningkatkan mutu pembelajaran, karena pada saat nanti kompetensi dan minat guru akan meningkat dengan baik dan akan melaksanakan apa yang saat ini tidak mau dilaksanakannya”.

Berdasarkan pengalaman tersebut, jika penulis ditanya, berapa lama pendampingan implementasi kurikulum 2013 harus dilaksanakan sampai berhasil meningkatkan mutu pembelajaran di sekolah? Penulis akan menjawabnya dengan “cukup satu semester saja”. Bagi penulis pendampingan guru cukup satu semester saja dengan pendampingan per bulannya dua kali, setelah itu tidak perlu pendampingan lagi, karena peningkatan mutu pembelajaran selanjutnya dapat dilaksanakan dengan kolaborasi guru-guru melalui Lesson Study. Walaupun demikian, jika dikehendaki pendampingan dapat diteruskan untuk lebih meningkatkan kualitas pembelajaran aktif yang dilaksanakan guru.

Dalam melaksanakan pendampingan, jika dalam satu semester guru belum memperoleh kesenangan dan keinginan yang kuat untuk selalu melaksanakan pembelajaran aktif, dan hasil belajar siswa dalam berbagai aspek kompetensi, terutama sikap dan minat belajarnya, belum meningkat secara signifikan, itu artinya pendampingan terhadap guru itu tidak berhasil. Karena guru akan kehilangan minat untuk terus melaksanakan pembelajaran aktif dan akan kembali ke pengajaran ceramahnya. Jika ini terjadi, pendamping harus segera mengubah strategi implementasi kurikulum 2013 di sekolah yang menjadi tugasnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun