Mohon tunggu...
Viator Henry Pio
Viator Henry Pio Mohon Tunggu... Freelancer - Fakta : Proyek Agung Pikiran dan Kata

Start by doing what's necessary; then do what's possible; and suddenly you are doing the impossible

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

IKN Bernama Nusantara, Apakah Harus Terus Ada Pada Pundak Sejarah?

21 Januari 2022   12:13 Diperbarui: 21 Januari 2022   12:26 248
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Nama Nusantara disematkan pada Ibu Kota Negara baru. Dengan alasan Nusantara sudah dikenal publik baik secara nasional maupun internasional. Bahkan menjadi ikon Indonesia dalam kancah global. Walau demikian, nama itu belum dicantumkan dalam RUU IKN (KompasTV, 17/01/2022).

Bagi saya penyematan nama Nusantara itu dilihat sebagai wacana baru yang digulirkan pemerintah untuk memahami respon publik. Sehingga tak heran berbagai kalangan mulai dari politisi, serajawan bahkan nanti cendekiawan maupun masyarakat biasa akan bersuara sebelum penetapannya secara defenitif.

Gemahan wacana pemerintah yang kemudian mencuat aneka perspektif baik pro maupun kontra sebenarnya upaya menggiring kita pada titik pencerahan.  Sebab nama Nusantara bukanlah suatu idealisme semu tetapi mencakup pergumulan atas fakta historis yang melingkupi perjuangan bangsa ini.

Di sini argumentasi yang perlu dicerna khalayak adalah nama Nusantara dari perspektif historis yang dikemukakan oleh sejarawan JJ Rizal. Menurut JJ Rizal, Nusantara harus diciduk dari konteks lahirnya karena mempunyai nuansa pengertian dan pemahaman yang berbeda setiap periode perkembangannya.

Demikian sejarawan ini menyarankan agar nama Nusantara harus kembali pada konteks Majapahit kala itu bukan merujuk pada Deklarasi Djuanda yang memperkokoh istilah archipelagic state  (Negara Kepulauan) tahun 1957. Dalam analisinya sesuai kondisi Majapahit, nama IKN baru bisa produk Jawaisme atau kontruksi kraton baru. Maka dinamika politiknya pun berpotensi kosentris. 

Perlu diafirmasi bahwa Kata Nusantara lahir dalam konteks dengan atmosfer pembatasan makna yang berbeda. Sejak tahun 1275, istilah Nusantara telah disebutkan dalam konsep Cakrawala Mandala Dwipantara yang dicetuskan oleh Kartanegara, Raja Singhasari.

Dwipantara (Sangsekerta) diartikan sebagai"kepulauan antara"yang sama artinya dengan Nusantara. Kata Dwipa sinonim dengan "nusa"yang bermakna "pulau".  Ambisi politis Kartanegara kala itu yakni menyatukan beberapa kerajaan di wilayah Asia Tenggara dari agresi Kerajaan Mongol.

Di tahun 1336 kata Nusantara diucapkan kembali oleh Mahapatih Gajah Mada dalam sumpah Palapahnya. Selanjutnya dalam usaha merevitalisasi nama Nusantara walau terikat dengan kadar politis di tahun 1920-an olah Ki Hajar Dewantara.

Sampai disini, munguat pertanyaan yakni apakah nama Nusantara harus semata diletakan pada pundak sejarah? Haruskah kita pesimis dengan desakan negara lain termaksud negara tetengga dengan nama itu?

Untuk itu, dalam menilai kewajaran nama Nusantara harus diberikan pada ibu kota negara baru merupakan proyek bahkan tanggung jawab dari berbagai disiplin ilmu. Sehingga kita tidak terbelenggu dengan beban sejarah. Bahkan canderung hanya bernostalgia tentang kejatuhan-kejatuhan lampau.

Materi kita adalah Nusantara kini yang akan beranjak maju sambil menghargai memoria dan belajar untuk memperbaiki kebutuhan-kebuntuhan masa lalu.  Sebanarnya era komtemporer telah menyediakan ruang bagi fleksibilitas pemikiran yang tidak tunggal berdasarkan fakta dan konteks yang melingkupinya.

Tujuannya adalah manusia indonesia mampu mencari, menemukan kebenaran atas fakta hidupnya tersendiri. Bahkan berani menamai dirinya berdasarkan fakta identitasnya. Itu unik. Itu baru bangsa yang mandiri yang mampu berjuang memperbaiki nasibnya.

Untuk itu, salah satu rujukan yang mungkin dan bisa menjadi bahan pertimangan kita sekarang adalah falsafah nusantara. Studi tentang falsafat Nusantara sudah diperkenalkan pertama kali oleh M.  Nasroen, Guru Besar Luar Biasa pada jurusan Filsafat UI dalam bukunya Falsafah Indonesia tahun 1967.

Menurut Nasroen, sebagai tradisi pemikiran abstrak, filsafat Nusantara sudah tertabur benihnya sejak zaman Neolitikum sekitar 3500-2500 SM. Namun secara akademis, baru berkembang pada dasawarsa 1960-an. Proyek pemikirannya pun khas.

Dengan tidak bertendensi kebaratan atau ketimuran namun kesejatiannya Nusantara ditemukan lewat ajaran filosofi mufakat, gotong royong, pantun, Pancasila, hukum adat, Ketuhanan dan semangat kekelurgaan. Produk nyata dari pemikiran itu selanjutnya dinamakan dengan kebudayaan.

Dengan mengidentifikasi filsafat nusantara sebagai bagian dari filsafat budaya maka ada dua pendekatan sebagai acuan dalam menggali kazanah budaya tersebut. Rujukan itu terbaca secara fenomenologis dan metafisis.

Secara fenomenologis, upaya ini sebagai jalan mencari dan menemukan fenomen-fenomen pokok yang membentuk karakter Nusantara. Secara metafisis sebagai upaya melahirkan prinsip yang menjadi tujuan dan jaminan bahwa ekstistensi dan  Nusantara maju secara harmoni. Hal itu demi keseimbangan antara "Yang satu dan yang banyak".

Kalau memang Nusantara objek seimbang yang lahir dari partikularitas budaya kita. Apakah mungkin Nusantara juga menjadi payung atas keberagaman kita. mengapa tidak?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun