Pada suatu kesempatan, seorang senior berkata dengan kalimat mengajak; "bagaimana kalau kita membuat suatu majalah sastra". Majalah itu, tidak bermaksud untuk menunjukan bahwa kita adalah penulis. Tidak pula untuk tujuan finansial tetapi hanya bermaksud menyelamatkan karya-karya teman-teman yang tercecer.
Setelah merenungkan tawaran senior, saya kemudian menyanggupkan diri dalam pembuatan majalah itu. Dan terbitan pada edisi pertama memuat karya teman-teman yang sangat unik dan menarik. Ada berbagai ekspresi positif dan kekaguman dari teman-teman ketika membaca kembali isi pengalaman hidup mereka.
Dari sanalah, saya akhirnya mengerti bahwa hidup ibarat sebuah buku dengan aneka coretan memori dan utopia yang harus direnungkan, dibenahi dan dikejar dengan perjuangan.
Saya mengerti bahwa keutuhan hidup sebenarnya suatu perpaduan yang dibangun dari setiap pecahan-pecahan kisah yang tercecer. Setiap kisah terakumulasi berdasarkan kenyataan tentang perjumpaan. Dan perjumpaan selalu digerakan kesadaran yang terikat pada relasi sehingga membentuk kultus keterkaitan.
Panorama perjumpaan memuat keterikatan yang mengharuskan kita untuk menyapa dalam keanekaan "wajah". Kehadiran "wajah" memenjarakan dan menarik kita untuk mengeratkan hasrat.
Kita tak pernah bisa mengela karena setiap kehadiran mengungkung dan menggugat kita untuk berpihak, barkata dan bersaksi tentangnya. Berpihak berarti gerakan yang tercebur ke "dalam" dan "keluar" membawa nilai edukatif untuk kepentingan hidup.
Disini salah satu instrumen pedagogis yang menghubungkan ketercerawutan kisah dalam bingkai pemahaman yang harmoni adalah bahasa. Bahasa mendemonstrasikan kisah dengan mengusung kata-kata. Bahasa sebagai medium penyatuan.
Bahasa menangkap arti kehadiran sekaligus mengungkap nilai keberadaan. Kehidupan memberikan "bekas" yang terfragmentsi dalam serpihan-serpihan kisah. Bekas menjadi rujukan utama dalam menginterpretasi dan menguak nilai.
Menurut Paul Ricoeur, menafsir adalah soal creative imagination of the possible, sebuah imajinasi yang mampu menangkap "dunia makna baru" untuk memahami realitas kekinian manusia dan memahami kehidupan manusia melalui "yang lain" serta memahami kemanusiaan dan semesta di "luar" manusia melalui diri manusia. Dan subjek matter-nya adalah bekas pengalaman atau kebenaran tentang kehidupan.
Sekali lagi, bekas menghadirkan tanda dan melalui bahasa tanda bisa dimengerti dan bermakna. Bahasa memiliki keistimewaan karena mampu menelanjangi sisi paling dalam suatu bekas kehidupan.
Bahasa bisa diibaratkan dengan "tubuhku" yang setiap bagiannya  mempunyi peran. Bahasa seperti "hidupku" yang setiap kisahnya mengajarkan kita untuk berharap dan belajar untuk hidup.
Dalam kekinian dunia, orang jarang bercerita dari hidup menuju kepunyaan (barang) tapi dari kepemilikan kepada kehidupan. Gejala ini diartikan oleh Michael Foucault sebagai "kematian manusia"(la mort de l'homme).
Kita tidak lagi bernarasi tentang kehidupan tetapi justru meleburkan nilai kehidupan dari eksistensi "barang kepunyaan". Sudah saatnya kita bangun dari tidur antropologis. Dengan bahasa aku tidak hanya mengeksplorasi duniaku, kisahku tapi juga duniamu, kisahmu.
Disini aku telah berupaya membangun jembatan intersubjektif dengan "yang lain" tanpa adanya persetujuan. Aku telah mencipta suatu dunia penuh keanekaan namun dalam satu kenyataan tentang "Dunia Kita". Â
Dengan bernarasi, aku mengkontruksi suatu relasi bukan hanya dengan diriku sendiri tapi denganmu sebagai yang lain dari diriku tapi sebagai realitas yang pertama-tama keluar dari pikiran dan hatiku.
Maksudnya setiap bekas sebelum terucap melalui bahasa, fakta itu telah mengalami kesatuan dalam diriku. Tanda ada keterpesonaan, ikatan yang karib, keterlibatan dan kepedulian serta perhatianku.
Dalam bercerita, aku telah mengakui diriku dan yang lain sebagai yang lain sebagai objek imajinasiku tetapi tetap utuh, satu bahkan berkarakter dalam diriku.Â
Dengan bercerita, aku telah menguraikan tentang "engkau" tanpa ada kata sepakat darimu. Aku juga berusaha mempertanyakan keseluruhan dirimu tanpa engkau ketahui.
Maksudku, aku menempatkan engkau untuk selalu baru dalam waktu sekaligus sebagai yang bernilai untuk selalu dikenang. Aku menyambung kepingan-kepingan pengalaman sebagai cerita-cerita yang kemudian bermuara menjadi pencitraan tentang dirimu. Dari cerita menuju pencitraan untuk suatu nilai. Â Â
Dengan cerita kita sedang mewartakan pesona kisah-kisah baik aktual maupun usang. Itu semua bukan semata-mata realisasi diri atau wujud keteguhan hati penuh juang tanpa batas untuk mengelaborasi setiap kejadian dalam horison nilai.
Kita ingin menyuarakan peristiwa sosial, politik, budaya dan romantisme sebagai terikan histeris yang tidak kosong. Tapi cerita dalam balutan baik tragedi maupun kegemilangan  kemanusiaan didalamnya bertaburan makna belum selesai untuk digeluti. Terikan itu patut dan pantas untuk didengar.
Dengan itu, kita ingin menempatkan sastra sebagai alat "propaganda" yang mempromosikan keberartian setiap jejak kehidupan itu.
Kita adalah bagian dari kisah bukan sekedar kisah kepemilikan aku seorang namun memuat nilai implikasi yang harus berbagi untuk semua. Sastra suatu seni mengeksplorasi suatu nilai dari kehidupan. Sastra sebagai media yang mengilustrasikan perjalanan tentang "kita". Â
Â
Terimah kasih kisah, buku dan sastra
Selamat Hari Buku Nasional
Diperbaharui dari blog pribadi, memoriautopis.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H