Mohon tunggu...
Viator Henry Pio
Viator Henry Pio Mohon Tunggu... Freelancer - Fakta : Proyek Agung Pikiran dan Kata

Start by doing what's necessary; then do what's possible; and suddenly you are doing the impossible

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Gerah Covid-19, Publik Lupa pada Wartawan

8 April 2020   22:15 Diperbarui: 8 April 2020   22:27 224
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pemberitaan tentang Virus Corona atau Covid 19 menjadi santapan lezat ruang publik.  Apalagi dampak pandemi ini berpotensi menggusur kebutuhan-kebutuhan vital secara global bahkan mengancam harkat manusia.

Keresahan semakin memuncak ketika diketahui bahwa virus yang tak tampak secara kasat mata itu memiliki pola penyebarannya diantara manusia lewat sentuhan. Kemendesakan akan hal-hal inilah yang menjadi faktor mengapa pemberitaan media sosial diburu lagi dibajak khalayak.

Secara peronal, saya merasa frekuensi pemberitaan melaju kencang seirama covid 19 mengitari pelosok jagat. Semua fakta terkait digarap secara saksama untuk dilihat, dibaca dan ditonton. Dari pengindraan itu, terserap aneka informasi, pengetahuan yang menumbuhkan keprihatinan dan kewaspadaan untuk  diri sendiri dan relasi orang lain.        

Terlepas dari peran teknologi sebagai pengantara dimana suatu data dapat ditransfer atau dipublikasikan. Logisnya, teknologi tidak independen. Dalam arti bahwa teknologi harus digerakan sehingga dapat mengartikulasi nilai bagi kepentingan publik.

Saya prihatin, ditengah gelombang corona yang kian dahsyat,  publik lebih terkesima terhadap imbas dari gejala ini. Publik berusaha mencari langkah solusif untuk menutup kepongahannya. Dengan menyusun regulasi dan kebijakan serta perbaikan sistem pelayanan antisipatif dalam bidang ekonomi, kesehatan, politik dan keamanan. Itulah kemeriahan yang terindrai kini di media sosial.

Tidak bermaksud juga mengeliminasi peran para medis, pemerintah, ilmuwan, dermawan yang telah berkontribusi dalam memberikan gagasan, kebijakan, tindakan praktis dan sumbangan materil dan moril dalam menangani kasus Covid 19.

Saya melihat ada yang absen dari bilangan apresiatif publik tentang kontribusi para wartawan.

Sebagai orang yang awan atau belum paham dunia jurnalistik, namun saya mencoba melihat segi pertarungan dan humanitas para jurnalis.  Dengan tulisan ini merupakan suatu apresiasi atas kerja keras dan keberanian para wartawan yang berandil dalam memberikan suatu informasi edukatif bagi penyelamatan publik dari virus mematikan ini.

Wartawan dalam aturan pers

Dengan merujuk pada dasar hukum sebagaimana tertera dalam Undang-Undang No 40 Tahun 1999 tentang Pers menyebutkan wartawan adalah orang yang secara teratur melakukan kerja jurnalistik. Sementara, Pasal 1 ayat (1) menjelaskan bahwa Pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menampikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik dan segala jenis saluran yang tersedia.

Secara sederhana, kita dapat mengerti bahwa wartawan adalah orang yang secara teratur menuliskan berita (kegiatan khas jurnalistik/kewartawanan) untuk dipublikasikan di media sosial baik cetak maupun elektronik.

Dan masuk dalam kategori wartawan yaitu reporter, kameramen, redaktur, editor. Walaupun penamaan fungsi terlihat parsial namun pelaksanaannya dalam gugus tugas yang erat demi menjaga kredibilitas suatu informasi.

Dalam menjalankan tugasnya, seorang wartawan harus terikat dengan organisasi tertentu baik berupa persatuan, forum maupun asosiasi seperti PWI (Persatuan Wartawan Indonesia), ITJA (Indonesian Tourism Jurnalist Association), IJTI (Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia) dll. Tujuannya implementasi dari setiap tugas mengacu pada asas-asas kode etik seperti asas demokratis, profesional, moralitas dan supremasi hukum yang berlaku secara nasional (keputusan Dewan Pers No 03/SK-DP/III/2006).

Hal ini penting karena menjadi dasar seaornag wartawan melalui pemberitaannya dapat dipercaya oleh publik sekaligus untuk melindungi profesinya.

Biasanya wartawan aba-abal yang terikat dengan kepentingan tertentu selalu menebar hoax. Tetapi wartawan yang memiliki integritas selalu memainkan perannya secara gemilang yakni menyajikan berita yang sifatnya informatif, edukatif dan kredibel.

Wartawan bukan sekedar profesi

Pertanyaan mendasar yang harus terpatri dalam benak kita dalam konteks aktivitas kewartawanan yakni siapakah yang punya nyali untuk meliput suatu berita dalam kondisi perang, bencana atau wabah virus yang kini menakutkan publik. Dan untuk apa kalau aktivitas itu harus mempertaruhkan dengan nyawa?

Berikut pernyataan seorang wartawan ketika harus turun ke lapangan untuk meliput berita di kala pandemi covid 19 menggelisahkan publik, dilansir dari Kompas.com

"Tanggung jawab sih mau enggak mau bagaimana pun caranya. Walaupun memang harus, tapi memang ada yang kurang ya kalau enggak ke lapangan,"

Dengan gugatan diatas, hemat saya, wartawan bukan sekedar profesi tetapi suatu panggilan. Suatu penghayatan yang digeluti secara berbeda dengan profesi dalam aktualitasnya. Kalau seorang wartawan bekerja berdasarkan profesi yang butuhkan adalah keahlian (skill), pengetahuan (knowledge)  dan etika (ethics) berdasarkan kode etik jurnalistik. Kategori ini berjalan seimbang dengan kompensasi yang akan diterimah oleh seorang wartawan.

 Perkara menjadi berbeda ketika wartawan dilihat sebagai suatu panggilan. Sebab Panggilan selalu memiliki keruwetannya baik tuntutan dan konsekuensinya. Dasar tuntutan seseorang terpanggil menjadi wartawan adalah totalitas.

Totalitas itu tercermin dalam penyerahan diri yang habis bahkan ikut terjerembab dalam tragedi kemanusiaan seperti perang, bencana alam, bencana nonalam dan sebagainya. Karena panggilan tidak memperhitungkan akumulasi gaji yang terimah namun tanggung jawab kemanusiaan.

Inilah dasar mengapa para wartawan bersedia dan meliput berita seperti wabah virus corona yang termaktub dengan konsekuensinya. Jelas disini bahwa Panggilan melampaui profesi dalam implementasinya.

wartawan sebagai penentu informasi yang edukatif

Ada persepsi yang masih tersebung harus terkuak. Anggapan bahwa para medis adalah garda terdepan dalam menyelamatkan pasien. Benar adanya.

Namun jika kita ingin mencermati secara teliti isi himbaun atau larangan demi memutus laju penyebaran covid 19 semisal; social disancing maka orang yang harusnya bertanggung jawab adalah pribadi setiap orang bukan para medis atau pemerintah. Dan yang paling fundamental adalah lapisan epistemik yang peka dan tajam dari setiap orang.

Kalau titik berangkatnya adalah kesadaran personal maka informasi yang sifatnya edukatif harus dilihat, didengar, ditonton oleh setiap orang. Mustahil himbauan Presiden Jokowi dapat disimak oleh masyarakat yang ada dipelosok negeri ini. Hendak bersurat pun tidak bisa, berberapa kertas yang bibutuhkan untuk 262 juta penduduk; waktu yang dibutuhkan; biaya yang dikeluarkan dls.

Saya mengatakan wartawan sebagai penentu informasi yang edukatif bukan bermaksud bahwa mereka adalah inisiatif utama sekligus peancang kebijakan. Wartawan sebagai penentu dalam arti:pertama, penjaga keaslihan (autentisitas) suatu informasi. Dalam horison edukatif, apalagi disaat genting ini, jika terjadi kesalahan akan berakibat sangat fatal.  Kedua, faktor utama yang menentukan berita dapat diakses oleh publik secara individual. Peran wartawan memberikan suatu sifat edukatif yang praktis, efektif dan efisien. Sampai peran wartawan tak boleh disepelehkan.   

Keprihatinan Kita

Berbagai fakta menunjukkkan bahwa wartawan dalam menjalankan tugasnya sering mendapat perlakuan yang tidak manusiawai seperti diludahi, dipukul, diusir, dintimidasi, diculik, ditembak, dibunuh secara sengaja,  korban peluru nyasar, bahkan mati dalam perang ketika meliput suatu berita.

Saya ingin katakan bahwa peran wartawan sangat mendasar yakni menyelamatkan manusia melalui informasi yang mereka publikasikan ditengah wabah yang berkecamuk ini. Oleh karena itu, sumbangan APD (Alat Pelindung Diri) harus diberikan juga kepada mereka bahkan mereka juga harus mendapat jaminan kesehatan yang memadai. Nasib dan keberlanjutan hidup para wartawan harus benar-benar diperhatikan sehingga seperti saya bisa disuapi berita yang lezat.

Seorang wartawan yang menunjukkan gejala Covid-19 meninggal dunia. Istrinya mengklaim mereka ditolak rumah sakit rujukan pemerintah yang telah menampung pasien lebih dari kapasitasnya. Menurut pengakuan istrinya, wartawan itu sempat ditelantarkan sekitar lima jam. Cerita berlanjut, sang wartawan pun meninggal dunia. (BBC News Indonesia, 31/032020).

miris membaca berita ini!!!

Mungkin para wartawan enggan atau sungkan menulis tentang kisah kepahlawanan mereka. Melalui tulisan ini, saya ingin mengapresiasi pertarungan hebat para wartawan. Ketika semua orang di rumah (terkunci dalam ketakautan, gelisah) kalian memilih keluar dengan penuh keberanian untuk meliput berita selama 24 jam untuk mengedukasi publik.

Salam dan apresiasi!!!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun