Corona atau COVID 19 memberi suatu kejutan bagi dunia. Kejutan itu menggerus perhatian penduduk dunia karena wabah bekarakter mendera, mengancam bahkan meniadakan eksistensi manusia. Untuk itu, berbagai upaya diterapakan dengan melibatkan segenap elemen masyarakat baik secara individul maupun kolektif untuk memagari jaring penyebaran corona. Alasan paling fundamental adalah menjaga keberadaan manusia karena nilai hidup tak dapat ditukar atau tergantikan dengan apapun. Â Â
Kehadiran WabahAda dua himbaun umum yang secara bergeliria diterapkan ditengah kegentingan wabah ini yakni pertama, "menjaga jarak" yang kemudian diistilahkan dengan self distancing, physical distancing, social distancing. Kedua, "menghindari kerumunan atau masa". Pola ini kemudian mendapat traktat legalitas resmi seperti lockdown, karantina wilayah dls.
Pada tataran ini, pertanyaannya yakni sejauh mana tingkat kepatuhan atau pemahaman terhadap himbauan/peraturan itu?
Untuk mengulas persoalan dilematis ini, kita mencoba berkaca buah-buah gagasan yang ditawarkan oleh Elias Canetti. Secra sepintas, Elias Canetti merupakan orang Bulgaria, dari keluarga pedagang Yahudi. Ia adalah seorang filsuf yang pernah meraih Nobel kategori Sastra dan Literatur tahun 1981. Tahun 1960 ia  menerbitkan sebuah karya tersohor berjudul Crowds and Power.
Ada dua gagasan yang paling  menonjol dari Elias Canetti yakni bidang Psikologi dan Sosiologi masa. Pemikiran filosofisnya mengarah pada karakter zooligis yang dalam bahasa Budi Hardiman disebut epistemologi naturalistik, bahwa semua perilaku dan tindakan manusia didasari oleh suatu motif primitif yang dapat ditemukan pada hewan-hewan yang hidup di rimba.
Karakter primitif itu terejawantah dalam dua tindakan yakni "rasa takut pada persentuhan" dan "kerumunan masa". Dua gagasan Canetti ini akan diterjemahkan dalam konteks himbauan umum untuk menjaga jarak dan menghindari kerumunan masa.
Pertama, dengan melihat korban terinfeksi virus corona di dunia yang tengah mencapai angka jutaan dengan menelan nyawa puluhan ribu dan selamat atau sebuh ratusan ribu, sebenarnya menggambarkan suatu kegelisahan dan katakutan pada manusia. mengapa? Dengan mengobok-obok kemapanan pada zona kritis dan menggiring manusia pada liang lahat corona sebenarnya menyatakan diri sebagai "dia" membungkus masa ini dalam kepalan kekuatannya. Â
Social distancing mempuanyai kemungkinan terpelihara suatu parasaan yang dalam bahasa canetti "rasa takut akan persentuhan" dalam relasi manusia. jelas bahwa ketakutan bukan pada pribadi manusia tetapi corona yang menjangkiti manusia itu. Ketakutan pun akan bahaya kematian akibat corona. Dengan begini, corona bisa diibaratkan sebagai singa yang menguasai rimba. Suatu "tuan" yang menguasai dunia.
Ketakutan akan persentuhan dapat dibaca dalam dua poros yakni; pertama secara negatif dimana sebagai dasar kewaspadaan agar tidak membiarkan corona terus bereksistensi. Â Bukan dalam ketakutan kepada korban yang terinfeksi corona sampai memasang sekat dan tidak mengulurkan tangan untuk menolong. Kedua, secara positif; sebagai upaya penyelamatan diri sendiri dan orang lain. Suatu jalan keluar dari permasalahan.
Jika dipahami bahwa corona adalah komponan sel yang memasuki tubuh manusia meracuni dan mematikan manusia. Dengan begitu, "corona ada dengan membunuh". Benar dan faktual.