Mohon tunggu...
Viator Henry Pio
Viator Henry Pio Mohon Tunggu... Freelancer - Fakta : Proyek Agung Pikiran dan Kata

Start by doing what's necessary; then do what's possible; and suddenly you are doing the impossible

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Tiga Pilar Formasi Prapaskah bagi Umat Kristiani di Tengah Gejolak Wabah Corona

31 Maret 2020   01:39 Diperbarui: 2 April 2020   19:07 236
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
gardinertsparish.wordpress.com

Hadirnya virus corona dalam bentangan dunia memicu berbagai perubahan baik kebijakan maupun ritualisme dalam bidang keagamaan. Bahkan virus ini seperti sengatan yang tengah berlabuh di batas paling intim dalam tataran keagamaan. Kedatangan Covid 19 mewarnai sejarah baru keagamaan dalam hal aturan dan praktek yang telihat kokoh dan matang dalam zaman.

Dalam kekristenan, khususnya Agama Katolik Roma, virus corona merupakan ancaman bagi kemanusiaan yang berpotensi meniadakan hidup manusia. Oleh karena itu, kebijakan dan praktek harus mengikuti pola penyelamatan manusia secara menyeluruh. Penerapanya terlihat dalam prapaskah kini dan paskah nanti "mungkin" akan dirayakan tanpa kehadiran umat secara fisik. Hal ini dilakukan untuk menciptakan sekat agar corona tidak menjaring dan melaju kencang diantara manusia.

Negara Vatikan sebagai sentrum gereja katolik dunia tak punya pilihan lain selain merubah kebijakan yakni merayakan pesta paskah tanpa kehadiran audiens secara fisik dan diperkenankan untuk mengikuti secara online.

Sebagai pusat gereja yang mewakili 1,3 miliar umat di dunia, pada tanggal 19 maret 2020, pihak vatikan melalui "Congregatio de Cultu Divino et Disciplina Sakramentorum" prot. N. 153/20  (Kongregasi Liturgi Suci dan Sakramen) mengeluarkan "DECRETO in Tempo di Covid 19" (Dekrit atau kepetusan dalam kurun waktu Covid 19). Dekrit ini memuat petunjuk-petunjuk umum perayaan Paskah tahun 2020 dan menjadi acuan bagi para uskup di dunia dalam menentukan kebijakan di wilayah yurisdiksinya.

Petunjuk umum ini rupanya telah diamalkan secara bijak oleh sebagian uskup di wilayahnya. Sebut saja Mgr. Fransiskus Kopong Kung (Uskup Larantuka) yang membatalkan prosesi Semana Santa. Bagi Uskup Fransiskus,  dilansir dari Pos Kupang, senin (23/03/2020), "kita menjaga tradisi tetapi mesti menjaga kehidupan dan kemanusiaan". Sejatinya, iman harus mewujudkan keselamatan jiwa (salus animarum) dan keselamatan insani (salus hominum).

Berbagai kenyataan diatas hendak menujukan bahwa dengan adanya wabah COVID 19 memberikan efek yakni perubahan tradisi, kebijakan dan praktek dalam tubuh gereja.

Lantas, bagaimana kaum kristiani hidup, bersikap dan memaknai wabah ini seturut semangat prapaskah yang tengah dijalani?

Menurut pemahaman umum, prapaskah merupakan moment pertobatan. Aktualitas pertobatan dinyatakan dalam doa, amal dan puasa selama 40 hari.

Bagi Paus Fransiskus dalam pesannya kepada korban virus corona (romereports.com, 2020/02/26), "Lent is a time to practice silence in one's heart". Bagi saya pernyataan ini hendak menandaskan bahwa corak keberimanan harus melampaui praktek ritualisme.

Ditengah wabah yang berkecamuk, paktek "beragama" (ritual) mungkin dibatasi namun praktek "beriman" (keheningan dan keteguhan batin pada Pencipta) terus dinyatakan. Dengan begitu, kita menjalankan apa yang paling esensial dalam keagamaan kita.

Hemat saya, ada tiga bentuk formasi yang harus dijalankan oleh segenap umat kristiani searah dengan semangat prapaskah dimasa genting ini. Ketiga formasi ini sebagai dasar dalam membangun kazanah iman yang benar dalam kehidupan bersama.

Pertama, formasi personal (puasa). Berpuasa merupakan suatu usaha untuk tidak mengikatkan tubuh pada kenikmatan dunia. Sejajar dengan itu, selama wabah corona formasi diri berarti menjaga keteraturan diri dengan menerapkan pola hidup yang menyelamatkan diri dan sesama. Aksi nyatanya yakni menjalankan jarak fisik, mencuci tangan dll

Kedua, formasi sosial (amal). Beramal menjadi suatu perwujudan cinta kasih kristiani. Searah dengan itu juga diharapkan kaum kristiani yang merasa tergerak hati untuk menyumbangkan sesuatu bagi orang lain berupa hasil kerja (dana untuk pengadaan peralatan medis) dan semangat hidup untuk korban dan dukungan moril bagi tim medis dalam menjalankan tugas mereka. Itulah ungkapan solidaritas, kesosialan, rasa kemanusiaan yang paling dalam dari diri kita

Ketiga formasi spiritual (doa). Doa adalah upaya membangun hubungan intim dengan Allah. Bagi orang kristiani, doa bukan perkara personal semata namun mempunyai korelasi dengan dimensi sosialitas dunia pada umumnya. Oleh karena itu, dalam konteks ini, dalam doa kita mempertemukan Allah dengan derita dunia. Dalam doa kita persembahkan kegelisahan dan harapan dunia ditengah kemendesakan hidup yang dipengaruhi oleh covid 19 ini. kita yakin, doa merupakan perwujudan kekuatan kerohanian  yang tak tertandingi dalam mengatasi segala bentuk cobaan di dunia.

Inilah cara dinama kita menjaga menjaga kemurnian dalam relasi dengan tubuh insani, sesama, dan tuhan sekaligus cara dimana kita menyelamatkan dunia.

Mari kita mengamalkannya!!!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun