Mohon tunggu...
Viona Salindeho
Viona Salindeho Mohon Tunggu... Lainnya - -

-

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Yang Berbeda Tidak Selamanya Salah: Anak Punk dalam Sudut Pandang Counterculture

7 Januari 2022   10:20 Diperbarui: 7 Januari 2022   10:24 595
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menariknya sebuah realitas sosial di negara ini yang menunjukan beberapa pandangan negatif yang disematkan kepada golongan atau kelompok yang "berbeda". Seperti sebuah pandangan yang melekat atas anak punk dengan pandangan "nakal" yang digeneralisasi kepada semua anak yang memiliki indikator terkait. Kelompok anak punk yang awalnya berbeda dalam aliran musik dan gaya hidup, kini kerap kali dihubungkan dengan kriminalitas dan kekerasan.

Permasalahan mengenai anak jalanan di Indonesia terbilang cukup kompleks. Salah satunya anak punk. Instilah punk sendiri memiliki definisi yang cukup beragam. O'Harra (1999) mengartikan punk sebagai sebuah trend remaja dalam berpakaian dan music; keberanian dalam melakukan perubahan atau pemberontakan; dan bentuk dari perlawanan yang luar biasa, karena menciptakan karya music, pola dan gaya hidup, komunitas sampai dengan kebudayaan sendiri. Dengan cirikhas potongan rambut mohawk dengan warna yang mencolok, badan bertato, celana ketat dan memakai tindik.

Kehadiran kelompok tersebut merupakan bentuk nyata dari adanya counterculture atau budaya tandingan di tengah masyarakat. Budaya tandingan biasa diartikan dengan dua pendekatan berbeda, yaitu dari sisi ideologi dan tingkah laku. Dalam sisi ideologi, budaya tandingan merupakan seperangkat keyakinan terhadap nilai dan norma yang secara ekstrem menolak budaya dominan yang telah berkembang di masyarakat dan menciptakan sebuah alternatif budaya lain. 

Sedangkan dalam sisi tingkah laku, budaya tandingan merepresentasikan sekelompok orang yang menerima kepercayaan dan nilai ekstrem yang menolak budaya dominan, berperilaku sangat non-konformis radikal, sehingga cenderung keluar dari masyarakat.

Budaya tandingan yang berkembang di masyarakat, seperti kelompok punk ini seringkali menerima stereotip buruk dari masyarakat. Dalam ranah psikologi, pandangan negatif tersebut dapat dijelaskan melalui teori mekanisme pertahanan ego oleh Sigmund Freud. Teori ini menjelaskan bahwa kecemasan memiliki tempat tersendiri dalam pikiran manusia dan menjadi insentif yang sangat besar untuk membangkitkan mekanisme sistem pertahanan ego.

Padahal kehadirannya tak semata -- mata memperkeruh suasana. Anak punk juga memiliki sisi positif yang mungkin dapat menjadi inspirasi. Memiliki solidaritas yang tinggi,  serta memiliki prinsip K3 (Karya kreatif Kritik), hidup dengan seni menjadi jalan bagi anggota anak punk. 

Mayoritas diantara mereka membuat karya untuk menyindir/ mengkritik keadaan sosial dan politik sertatak sedikit diantara karya mereka yang mengangkat tema mengenai ketidakadilan hukum secara keras dan provokatif. Intinya, Punk atau bukan? 

Kita adalah sesame manusia. Kekurangan dan kelebihan pasti dimiliki oleh setiap individu. Terlepas dari stereotip yang diberikan oleh masyarakat terhadap sebuah kelompok, pada akhirnya kita manusia berhak memilih. Selama berupaya untuk tidak menyakiti satu sama lain dan tetap mengedepankan kemanusiaan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun