Mohon tunggu...
Andi Ikhbal
Andi Ikhbal Mohon Tunggu... -

Hanya pion catur yang berharap menjadi queen.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Ahok Aktif Kembali Sebagai Gubernur, Salahkah Kebijakan Mendagri?

12 Februari 2017   08:24 Diperbarui: 12 Februari 2017   08:49 846
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jabatan Gubernur DKI Jakarta kembali dipegang Basuki Tjahja Purnama (Ahok) pada Minggu (12/2). Dirjen Otonomi Daerah Kemendagri Sumarsono yang menggantikan Ahok saat cuti kampenye menyerahkan posisi pimpinan ibu kota ini kepada kepala daerah petahana ini. Saat ini Ahok memang masih berstatus sebagai terdakwa dalam sidang dugaan kasus penistaan agama di pengadilan. Namun, pemerintah melalui Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) selaku pembina pemerintah daerah (pemda) tak bisa bersikap memberikan sanksi pemberhentian sementara ke Ahok, kenapa? Hal tersebut bukan tanpa alasan. Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo sudah mengambil keputusan bijak dan berhati-hati terkait masalah ini. Alasannya, UU No. 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah memang sudah memberikan klausul yang jelas menyikapi persoalan Ahok. “Terkait Gubernur Ahok (Basuki Tjahja Purnama), Kemendagri menunggu tuntutan resmi JPU nantinya di persidangan. Kalau tuntutanya 5 tahun, ya kami berhentikan sementara, kalau di bawah 5 tahun tetap menjabat sampai putusan hukum tetap,” kata Tjahjo Mengapa demikian jawaban dari Mendagri Tjahjo. Berikut ulasannya. Pertama, dalam Pasal 83 ayat (1) Undang-undang Pemerintahan Daerah menyebutkan, kepala daerah atau wakilnya dapat diberhentikan sementara tanpa melalui usulan DPRD bila diancam pidana penjara paling singkat 5 tahun dalam tuntutan jaksa di pengadilan. Sedangkan saat ini dalam persidangan dugaan penistaan agama, Gubenur petahana Basuki Tjahja Purnama (Ahok) didakwa dengan 2 pasal yakni Pasal 156 dan 156a KUHP. Kedua pasal tersebut menjerat Ahok dengan ancaman waktu penjara yang berbeda-beda. Pada pasal 156 menyebutkan ancaman penjara paling lama 4 tahun. Sedangkan 156a menyebutkan, pidana penjara selama-lamanya 5 tahun. Namun, sejauh ini Jaksa Penuntut Umum (JPU) belum memastikan pasal mana yang akan menjadi tuntutannya ke Ahok. Akibatnya, Kemendagri tak bisa mengambil sikap, apakah ancamannya 5 tahun penjara atau dibawah 5 tahun penjara. Pemerintah menunggu kepastian JPU dalam persidangan. Bukankah status terdakwa ini seharusnya langsung diberhentikan sementara? Mari kita perhatikan kasus-kasus sebelumnya secara lebih detai. Meski terdakwa, Kemendagri tetap melihat tuntutan JPU. Kalau terdakwa langsung ditahan atau operasi tangkap tangan (OTT) korupsi, pemerintah pasti langsung memberhentikan sementara. Begitu juga bila status terdakwa dengan tuntutan ancaman pidana 5 tahun atau lebih, meski tidak ditahan. Kenapa bicara soal tahan menahan terdakwa? Karena kalau ditahan, tentunya kepala daerah tersangkut kasus ini dianggap tak bisa melaksanakan tugasnya di pemerintahan. Tapi kalau tidak ditahan, berarti dia masih bebas. Ahok bebas, bukan? Dia masih ikut serta debat pilgub, masih kampanye, usai persidangan masih boleh pulang. Bila status terdakwa, namun tuntutan jaksa di bawah 5 tahun penjara dalam persidangan, dan tidak ditahan, maka tidak akan diberhentikan sementara. Masih dalam jabatannya sampai putusan hukum tetap nantinya dalam pengadilan. Contohnya adalah Gubernur Gorontalo yang dituntut 8 bulan penjara. Namun, berbeda kalau dugaan kasus yang menjerat Gubenur Sumatera Utara, Banten, dan Riau. Status hukum mereka terdakwa. Tuntutan JPU di atas 5 tahun penjara dan langsung ditahan, makanya Kemendagri langsung memberhentikan sementara, sampai putusan incraht. Pemberhentian sementara ini tetaplah sementara, bukan tetap. Kebijakan pasti nantinya diambil bila sudah ada putusan hukum tetap, atau incraht. Selama diberhentikan, nanti wakilnya naik atau pejabat lain ditunjuk sebagai Plt. Bila putusan akhir pengadilan menyatakan tak bersalah, maka jabatan dikembalikan lagi ke yang bersangkutan.
Jadi, tak serta merta isu yang beredar, kalau pemerintah mendukung Ahok dapat dipertanggung jawabkan. Justru langkah yang diambil pemerintah pusat sudah benar secara aturan, serta tidak spekulatif. Pedomannya UU 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah.  Kalau pemerintah ambil sikap dengan memberhentikan Ahok, ternyata JPU nantinya memberikan tuntutan mengacu Pasal 156 dengan ancaman pidana paling lama 4 tahun penjara. Maka akan berujung blunder, Kemendagri tak patuh aturan perundang-undangan, bahkan dinilai cenderung tak netral. Biarpun Ahok harus diberhentikan sementara karena JPU telah menuntutnya dengan Pasal 156a dimana ancaman pidana selama-lamanya 5 tahun penjara, maka gubernur petahana ini tetap harus aktif terlebih dahulu. Sebab, tak mungkin dinonaktifkan kalau statusnya sudah nonaktif, kan?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun