Mohon tunggu...
pintukata
pintukata Mohon Tunggu... Lainnya - Menulis Bebas.

-

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sebilah Suara Angin

13 September 2020   20:06 Diperbarui: 13 September 2020   20:13 205
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Baginya, hidup sebagai hamba haruslah konsisten mencintai Tuhan serta utusannya dengan kelengkapan pengetahuan dan kebijaksanaan. Ia yakin menyebutnya sebagai segitiga cinta. Tapi sudah berapa lama itu berlalu? Tiga tahun. Tiga tahun bukanlah apa-apa, ia merasa baru kemarin berpikir seperti itu. Tetapi ia teguh mengarungi cintanya.

Memang waktu sangat cepat berlalu sehingga kita tidak dapat singgah dan berhenti di detik keberapa pun, selain memilih mengakhirinya dengan mati bunuh diri. Itu pun kita bakal dibangunkan lagi di suatu tempat yang benar-benar baru. Jika kami menyebutnya, masa di mana semua akan dipertanggung-jawabkan, diperhitungkan, lalu diberi ganjaran sesuai perbuatan baik buruk kita semasa hidup di dunia.

***

Thouf dan aku mengampu ilmu di negeri tirai bambu ini. Kami berdua adalah mahasiswa hukum yang selalu bergairah melempar gagasan di pertengahan malam. 

Topik yang biasa dipergunjingkan bervariasi mulai dari hal-hal yang menyangkut aurat pemerintah, ambiguitas arah teknologi, sampai cara menyedu kopi yang tepat dan berselera. Maklum, Thouf pernah menjadi perakit handal segala jenis menu kopi di suatu kedai sewaktu nganggur menunggu hasil lamaran untuk melanjutkan ngilmu.

Semalam ia menginap di kamarku. Dan malam itu sengaja ia menumpang di kamarku sebab kebetulan lampu kamarnya kedap-kedip seolah-olah mulai sekarat lantas mati seketika. Ia sempat memprotes kepada bibi penjaga asrama di lantai kami, namun ia sarankan agar menginap dulu ke kamar lain, sebab besok baru bisa diperbaiki. 

Sejak malam itu, memang cuaca begitu dingin dan gelap. Kami hanya menyambutnya gembira, mungkin pertanda musim gugur akan pergi atau musim dingin beranjak datang kemari dengan membawa setumpuk bendungan salju tebal. Yang sekali turun salju itu, memutihkan segalanya. Suci.

***

"Kenapa begitu, Bang?" tanyaku menggerutu.

"Lihatlah itu! Tuhan telah geram lantas menyingkap segala tabir kekerdilan kita!..." Sahutnya menggebu-gebu. Di dalam ruang setapak penuh kesunyian yang mencekam. Thouf menunjuk pepohonan di balik jendela yang mulai menekuk ditiup angin. Aku masih tak paham atas apa yang ia maksud. 

Sejak angin berpusar, kami sempat tak mampu melihat apa pun. Pusaran itu menyeka mata kami dari gangguan angin beserta lebat hujannya yang memercik ke lapisan terluar jendela kaca kami. "Kau tahu hukum alam kan?" Tanyanya sembari menatap mataku menyeruak dalam. Lalu aku menyahut dengan mengangguk kepala seraya meyakinkan dia.

"Bumi kita sudah berumur dan semakin tua, sedangkan makhluk yang mendudukinya kian hari semakin membludak. Ini seperti bom waktu! Populasi manusia selalu saja meningkat dibandingkan yang lain. Sebuah keniscayaan memang. Sialnya, kita sekonyong-konyong memenggal leher mereka, membunuh mereka, memusnahkan mereka, membabat mereka, menggundulkan mereka sampai botak nan tandus!. Kita yang diberi anugerah akal dan kemampuan berpikir, masih setengah-setengah memperalatkannya! Sangat rakus dan selfish segala tindakan kita..."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun