Mohon tunggu...
Pinsil Tempur
Pinsil Tempur Mohon Tunggu... -

Pinsil Tempur, nama aslinya Ali Murtadho, pernah sekolah,pernah kuliah, pernah tidak lulus, pernah lulus, tapi bukan diploma apalagi sarjana, Aktifitas sehari-hari : bersepeda,membaca, menggambar, menulis dan bercinta

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Judulnya, Every Big Step Starts With an Inch

8 Februari 2011   07:54 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:48 110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Kalau diibaratkan penyanyi, aku ini masih pengamen jalanan. Pengamen yang kadang-kadang manggung di acara pernikahan, sunatan ataupun ulang tahun.  Laku, puas, tapi belum bisa memperoleh materi yang melimpah. Ketertarikanku akan dunia visual grafis, berawal dari rasa penasaran pada ilustrasi buku belajar membaca waktu kelas dua SD dulu. “Ini cara bikinnya gimana ya?” Rasa penasaran itu terus menghantui setiap langkah saya selanjutnya.

Kemudian secara ajaib ketika lulus SMA dan tidak bisa melanjutkan kuliah, aku bekerja di sebuah percetakan. Dengan posisi yang sangat cihuy, yakni tukang sapu. Bayarannya, cihuy pula. Gajiku sebulan cukup untuk membeli empat puluh botol teh Sos*o. Lain dari itu, yah cukup dikasih makan kenyang tiga kali sehari. Lalu aku naik jabatan jadi asisten operator cetak, terus akhirnya jadi operator cetak. Puas? Belum. Karena bukan di sini hasrat saya. Aku ingin menjadi seseorang dibalik sesuatu, bukan hanya tukang.

Dengan berbagai lika-likunya akhirnya aku bermuara pada sebuah profesi yang boleh dikatakan, “Ini lho yang aku cari”. Puas? Belum juga. Sebab posisiku saat ini—menurut isilah sebuah e-magz gitu, masih dalam dikotomi otodidak -  atautidak. Aku memang belajar rancang grafis secara otodidak. Lewat buku, majalah, internet, dan tanya-tanya pada orang yang berpengalaman di bidangnya. Menurut anggapan sebagian orang, yang otodidak biasanya kurang mengerti tentang psikologi warna, nirmana, atau macam-macam istilah desain grafis lainnya. Sedangkan yang atau tidak (baca  ; lulusan universitas, anak-anak DKV) lebih pede untuk mengaktualisasikan karya-karyanya karena mereka merasa lebih punya otoritas untuk menunjukkan diri.

Yang otodidak juga sering hanya dicap sebagai ‘tukang’. Karena memang biasanya  ruang lingkupnya terbatas hanya sebagai tukang setting undangan di percetakan. Kalaupun seumpamanya berhasil mendesain brosur ataupun logo, maka harga yang didapat amat kecil.

Tapi, seperti aku bilang tadi, aku memang masih pengamen, tapi ingin menjadi legend. Seperti Iwan Fals. Dan yang aku lakukan saat ini adalah usaha untuk mewujudkan mimpi saya—meminjam istilah film-film kartun--menguasai dunia!. Menguasai dunia berarti meninggalkan tanda pada dunia, sekecil apapun. Menyusun satu demi satu puzzle mimpi, sambil melakukan aktifitas yang sangat yummy yaitu, membaca, menggambar, menulis, dan bercinta. Sehingga  kelak sejarah mencatat dengan sangat manis bahwa Pinsil Tempur pernah ada dan mewarnai dunia. Atau kami menyebutnya, meninggalkan tanda.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun