Mohon tunggu...
Pinsil Tempur
Pinsil Tempur Mohon Tunggu... -

Pinsil Tempur, nama aslinya Ali Murtadho, pernah sekolah,pernah kuliah, pernah tidak lulus, pernah lulus, tapi bukan diploma apalagi sarjana, Aktifitas sehari-hari : bersepeda,membaca, menggambar, menulis dan bercinta

Selanjutnya

Tutup

Puisi

San Fransisco,dan Wanita yang Kencing di Ruang Tamu

5 Februari 2011   03:18 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:53 348
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dulu, sekitar tahun 1985-an, saudara ibuku bekerja di agen sembako atau apa gitu. Yang jelas setiap tahun baru, dia selalu membawa beberapa kalender dari berbagai supplier. Mungkin hadiah atau semacam promosi. Dan biasanya di kampung kalender itu dibagi-bagikan ke tetangga. Dan keluargaku selalu punya kesempatan pertama untuk memilih.

Aku yang pada waktu itu berumur sekitar lima tahun, mulai ikut-ikutan memilih. Ada beberapa pilihan yang ada. Ada gambar pemandangan, kaligrafi, gambar masjid, artis ibukota, gambar mobil, dan juga gambar wanita seksi yang hanya berbikini dan nyaris telanjang. Naluri laki-lakiku timbul. Aku memilih kalender bergambar wanita seksi. Hingga terjadi dialog antara aku dan ibuku.

Aku : “Mbok”, maksudku simbok, panggilanku pada ibu. “pilih yang gambar ini aja ya, bagus.”

Ibuku: “Jangan le, dimana bagusnya?, orang gak pake celana gitu. Terus kalo dia nanti berak sama pipis di rumah kita gimana? Kan rumah kita jadi bau.”

Aku : “Ah, simbok, ya udah yang ini aja.” Kataku sambil memilih gambar sebuah jembatan panjang berwarna merah dan dibawahnya hilir mudik perahu-perahu cantik.

Dan kelak ketika aku sudah bisa membaca, tulisan dibawah gambar itu terbaca : ‘ San Fransisco’.

Kalau nanti aku bisa mengunjungi jembatan ini, mungkin ia masih seindah gambarnya dulu, tetapi kalau yang aku pasang gambar wanita seksi itu, jangankan nanti, mungkin sekarangpun sudah jadi nenek-nenek peot. Terima kasih Ibu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun