Lahir di Inggris, kemudian lama tinggal di Belanda. Lalu bosku membawanya ke kantor. Penampilannya keren, bersih, kalau tidak boleh dibilang cantik. Suaranya lembut, pelan nyaris tak terdengar. Hasil kerjanya oke, tidak rewel, manis. Mungkin dulu selalu diperlakukan dengan manis oleh seorang gentleman terdidik. Dalam bayanganku, ia selalu berdasi dan berambut klimis dan bekerja sesuai prosedur.
Sebulan dua bulan, ia masih bersikap manis padaku. Aku pun selalu memperlakukannya dengan hati-hati. Ia jaim. Aku cuek. Ia manis, aku girang. Ia menurut, aku senang.
Tapi yang terjadi kemudian, ia ketahuan belangnya. Maksudku aku yang ketahuan belangnya. Ia yang sebelumnya selalu diperlakukan secara elegan dan terpelajar, aku perlakukan secara kampungan. Ia yang anggun, dan bekerja secara amat professional, Ia yang biasanya bekerja naintufaif, harus sering kuajak lembur, mulai sering ngambek. Dan aku mulai marah-marah. Sepertinya ia mulai tidak suka padaku.
Ia yang biasanya bekerjasama dengan pria terdidik, kali ini bekerjasama denganku yang udik. Udik sekali. Aku main tendang, main bentak, kalau saja tubuhku lebih besar dari tubuhnya, sudah kubanting dia. Ia menjadi sering tidak sejalan denganku. Kemudian aku tinggalkan dia. Aku bosan.
Satu hal yang bisa kutarik pelajaran, ternyata mesin lebih jujur daripada manusia. Mana manusia terdidik, mana manusia udik. Mana lelaki gentleman, mana lelaki cemen.
*terima kasih untuk Gestetner, mesin cetak yang telah menemaniku selama delapan tahun. Kamu menyesal ya bekerja sama denganku?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H