Mohon tunggu...
Pinsil Tempur
Pinsil Tempur Mohon Tunggu... -

Pinsil Tempur, nama aslinya Ali Murtadho, pernah sekolah,pernah kuliah, pernah tidak lulus, pernah lulus, tapi bukan diploma apalagi sarjana, Aktifitas sehari-hari : bersepeda,membaca, menggambar, menulis dan bercinta

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Udik Vs Terdidik (Catatan Tukang Cetak #3)

23 September 2010   09:57 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:02 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lahir di Inggris, kemudian lama tinggal di Belanda. Lalu bosku membawanya ke kantor. Penampilannya keren, bersih, kalau tidak boleh dibilang cantik. Suaranya lembut, pelan nyaris tak terdengar. Hasil kerjanya oke, tidak rewel, manis. Mungkin dulu selalu diperlakukan dengan manis oleh seorang gentleman terdidik. Dalam bayanganku, ia selalu berdasi dan berambut klimis dan bekerja sesuai prosedur.
Sebulan dua bulan, ia masih bersikap manis padaku. Aku pun selalu memperlakukannya dengan hati-hati. Ia jaim. Aku cuek. Ia manis, aku girang. Ia menurut, aku senang.
Tapi yang terjadi kemudian, ia ketahuan belangnya. Maksudku aku yang ketahuan belangnya. Ia yang sebelumnya selalu diperlakukan secara elegan dan terpelajar, aku perlakukan secara kampungan. Ia yang anggun, dan bekerja secara amat professional, Ia yang biasanya bekerja naintufaif, harus sering kuajak lembur, mulai sering ngambek. Dan aku mulai marah-marah. Sepertinya ia mulai tidak suka padaku.
Ia yang biasanya bekerjasama dengan pria terdidik, kali ini bekerjasama denganku yang udik. Udik sekali. Aku main tendang, main bentak, kalau saja tubuhku lebih besar dari tubuhnya, sudah kubanting dia. Ia menjadi sering tidak sejalan denganku. Kemudian aku tinggalkan dia. Aku bosan.
Satu hal yang bisa kutarik pelajaran, ternyata mesin lebih jujur daripada manusia. Mana manusia terdidik, mana manusia udik. Mana lelaki gentleman, mana lelaki cemen.
*terima kasih untuk Gestetner, mesin cetak yang telah menemaniku selama delapan tahun. Kamu menyesal ya bekerja sama denganku?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun