"In 2010 there was the Arab Spring and the European anti-austerity movement, which both used hashtags to brand what they were doing." -- Heather Gautney
Tanda pagar (tagar) #2019GantiPresiden belakangan ini ramai mengisi media sosial. Tema soal ganti presiden itu memang mulai diperbincangkan setelah Ketua DPP Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Mardani Ali Sera membagikan gelang bertuliskan kalimat tersebut di sebuah acara televisi swasta awal April lalu, menyusul ramainya kaos dan aksesoris lain dengan kata-kata serupa.
Atensi publik semakin tertuju pada tema "#2019GantiPresiden" setelah Presiden Joko Widodo (Jokowi) membicarakan tagar itu di Bogor. Dalam pidatonya, Jokowi menyindir keberadaan kaos dengan nuansa politis itu di tengah masyarakat.
Kini isu tersebut kembali menyeruak setelah terjadi kegaduhan di beberapa wilayah. Diawali dengan pelarangan diskusi Ratna Sarumpaet di Bangka Belitung, kemudian berlanjut dengan pemulangan Neno Warisman dari Riau, dan ditutup dengan pembubaran acara deklarasi #2019GantiPresiden di Surabaya.
Bagi pendukung aksi tersebut, rentetan tiga insiden penolakan ini dianggap sebagai tindakan ketidaknetralanaparat kepolisian.
Sementara itu, beberapa pihak menganggap bahwa penggunaan hashtag atau tagar dalam menyuarakan aspirasi merupakan hal yang wajar. Penggunaan tagar sebagai aksi politik sudah banyak dilakukan di negara-negara lain.
Di Amerika Serikat (AS) misalnya, pada Pilpres 2016 lalu diramaikan oleh para kandidat yang menggunakan tagar untuk kampanye. Slogan Make America Great Again yang dikenalkan oleh Presiden Ronald Reagan itu kembali digaungkan oleh Donald Trump sebagai jargon kampanye politiknya.
Lantas, mungkinkah gerakan yang lahir dari dunia maya itu bisa menggetarkan jagat politik di Indonesia? Bagaimana tagar 2019 ganti presiden ini bisa digunakan sebagai "peluru" bagi kubu oposisi untuk menggoyang elektabilitas petahana, bahkan memenangkan kontestasi sama seperti yang dilakukan oleh Trump?
Perang Tagar Pilpres AS
Sebelum melangkah lebih jauh pada konteks penggunaan tagar sebagai agenda politik di Indonesia, ada baiknya jika dicermati terlebih dahulu pengalaman Pilpres AS 2016 lalu. Dengan iklim demokrasi yang begitu cair, AS melaksanakan Pilpres secara terbuka dan variatif, salah satunya lewat beragamnya penggunaan tagar untuk kepentingan politik dari masing-masing kubu.
Donald Trump dan Hillary Clinton dengan jeli memanfaatkan fitur tagar untuk kampanye atau serangan terhadap lawan politiknya. Dikutip dari tulisan ilmuwan senior di Qatar Computing Research Institute (QCRI), Dr. Kareem Darwish, tagar #MAGA (Make America Great Again) adalah yang terbanyak digunakan pada saat masa kampanye hingga hari pemungutan suara dengan frekuensi 2.089.162 kali.