Setelah itu, penggunaan tagar seolah melebar ke berbagai lini lainnya. Kesuksesan tagar bertransformasi dari simbol digital menuju simbol gerakan sosial juga merambah dalam politik di Indonesia. Tagar #2019GantiPresiden dan penolakan terhadapnya menjadi bukti masifnya dampak kampanye dengan simbol digital tersebut, bahkan berpotensi melahirkan gesekan dan chaos.
Tagar telah berevolusi lebih dari hanya sebatas simbol digital dunia maya. Tagar sukses mempengaruhi Pemilu hingga memicu gerakan sosial.
Chris Messina, advokat spesialis di bidang open source -- yang merupakan pencetus ide tagar di Twitter -- mengatakan pada The New York Times bahwa simbol tagar merupakan "jalan paling kuat untuk berpartisipasi di media sosial." Artinya tagar sendiri memang sejak awal dimaksudkan untuk menggerakan masyarakat.
Di Indonesia, perang tagar mendapatkan momentumnya. Tarung ala Trump dan Hillary terjadi lewat tagar #Jokowi2Periode milik petahana, melawan #2019GantiPresiden milik oposisi. Secara kasat mata, tagar milik petahana memang kalah dibandingkan kekuatan #2019GantiPresiden.
Hal ini sejalan dengan yang disampaikan oleh pendiri PoliticaWave, Yose Rizal. Menurutnya lemahnya upaya untuk menyatukan dan memperkuat tagar #Jokowi2Periode menjadi salah satu faktor kubu pro Jokowi gagal melemahkan upaya gerakan politik yang dilakukan oleh oposisi.
Penggunaan internet, termasuk tagar, sesungguhnya memberi peluang bagi munculnya echo chamber atau ruang gema. Istilah ini diperkenalkan oleh Anatoliy Grudz dan Jeffrey Roy dalam bukunya Investigating Political Polarization on Twitter: A Canadian Perspective. Keduanya menyebut bahwa internet menciptakan ruang gema yang berputar di situ-situ saja, mengelilingi sebuah kelompok pengguna.
Kondisi ini membuat lini masa media sosial menjadi biner. Pikiran yang dilontarkan oleh seseorang segara mendapat dukungan dari rekan dan terus berulang hingga dia seolah percaya bahwa inilah fakta yang terjadi.
Ruang gema ini sedikit banyak mempengaruhi preferensi pilihan politik seseorang di media sosial yang berdampak ke dunia nyata. Seseorang yang terjebak dengan topik tertentu dan terpikat dengan ujaran rekan atau orang lainnya, akan mudah percaya dan menganggap apa yang diucapkan orang tersebut benar.
Dalam konteks Pilpres 2019, hal ini akan banyak mempengaruhi para pemilih yang aktif di media sosial. Jumlah pengguna media sosial Indonesia diperkirakan mencapai 140 juta jiwa, dan jumlah swing votersatau pemilih mengambang di Indonesia diperkirakan juga cukup tinggi. Masayarakat Indonesia secara politik cenderung "moody" dan sebagian besar menjadikan Pilpres sebagai alat untuk mengoreksi pemerintahan yang ada. Maka akan ada kemungkinan besar bahwa peralihan dukungan pada Pilpres 2019 tinggi, termasuk lewat gerakan macam #2019GantiPresiden.
Di twitter ada Drone Emprit. Memetakan perang tagar. Melihat itu, jadi pahamlah publik,... bagaimana mungkin kubu petahana gak panik? Wong, tagar #2019GantiPresiden bertengger di TT dan mendominasi lini masa seantero republik.
--- Andi Khomeini Takdir (@dokterkoko) June 7, 2018
Gawat Bagi Petahana?