Kader vs Elit Parpol
"Karakter seseorang mudah dinilai dari bagaimana ia memperlakukan orang yang tidak memberikan keuntungan apapun padanya." ~ Goethe
Sebagai negara yang menganut sistem demokrasi, pelaksanaan pemilu langsung yang diterapkan sejak 2004 ini, memang memberikan hak penuh bagi setiap warga negara untuk memilih sendiri pemimpin yang dipercayainya. Meski begitu, setiap parpol tentu meminta para kadernya untuk setia dan mendukung calon yang dipilih oleh elitnya.
Sayangnya, keputusan elit parpol ini sendiri sebagian besar hanya karena hitung-hitungan untuk mendapatkan kekuasaan (office seeking). Akibatnya, parpol pun menjadi kehilangan fungsinya sebagai jembatan aspirasi rakyat. Terlebih, menurut Anthony Downs, para elit parpol lebih banyak memihak berdasarkan alasan rasional semata.
Padahal bila berdasarkan pada perilaku pemilih (voting behavior), Josep Kristiadi dari CSIS melihat, perilaku pemilih di Indonesia pada dasarnya dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu faktor sosiologis, psikologis, dan ekonomi (rasional). Ketiga faktor inilah yang kerap membuat kader tak sejalan dengan keputusan parpol.
Pak @SBYudhoyono suara akar rumputmu ke Pak Jokowi di pilpres tahun 2019 tolong ini diperhatikan yaa. Segera keluar dari koalisi atau pilih kadermu yg akan keluar dari partai mercy  https://t.co/1mDkk8xVaZ
--- #SantriGerilyawan (@Iwanfahmi07) August 18, 2018
Begitu juga sistem koalisi yang digunakan lebih ditekankan pada unsur kemenangan di parlemen atau Minimal Winning Coalition, menurut William Riker, menimbulkan risiko berkurangnya loyalitas kader maupun konstituen terhadap kebijakanyang diambil oleh elit partai, sehingga menyebabkan besarnya kemungkinan untuk mengalami kekalahan.
Berkurangnya loyalitas kader dan konstituen ini, sepertinya juga sudah mulai terjadi di kedua kubu. Dalam kasus Fadel sendiri, meski beralasan kecewa karena ketua umumnya tidak dipilih sebagai cawapres, namun alasan utamanya mendukung Sandiaga sebenarnya berdasarkan faktor sosiologis, yaitu karena sama-sama berasal dari Gorontalo.
Berbeda dengan kasus yang terjadi pada Soekarwo, di mana Gubernur Jawa Timur yang sebentar lagi akan digantikan Khofifah Indra Parawansa ini, cenderung ke Jokowi-Ma'ruf Amin akibat kedekatannya dengan Nahdlatul Ulama (NU). Pilihan ini, berdasarkan tiga faktor perilaku pemilih, termasuk dalam faktor psikologis.
Mesin Parpol Paska Klientelisme
"Jangan hargai apapun keuntungan yang membuat Anda melanggar janji atau kehilangan harga diri." ~ Marcus Aurelius