Mohon tunggu...
Reza Pamungkas
Reza Pamungkas Mohon Tunggu... Jurnalis -
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Selanjutnya

Tutup

Analisis

"Mahathir Effect", Generasi Tua, Sudahlah!

4 Juli 2018   14:55 Diperbarui: 4 Juli 2018   15:11 410
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Munculnya para pemimpin muda yang visioner dan progresif pun, terbantu berkat pelaksanaan Pilkada dan Pilpres yang memungkinkan para pemimpin yang akan berkuasa dipilih langsung oleh rakyat. Hanya saja, kekuasaan partai politik di tanah air memang masih sangat dominan dalam lajunya demokrasi dan perpolitikan tanah air.

Fakta ini juga diperparah dengan masih mendominasinya elit dan oligark politik --umumnya berasal dari generasi tua -- yang memiliki kekuasaan besar di partai politik. Bila merujuk pada pernyataan Sidanius dan Pratto dalam teori dominasi sosial, generasi tersebut disebut sebagai kelompok dominan atau superior di dunia perpolitikan.

Baca juga :  TGB Capres Tak Bertuan

Akibat dominasi kelompok superior inilah yang pada akhirnya menyebabkan perpolitikantanah air, dikuasai atau dikontrol oleh para generasi tua atau yang disebut sebagai Gerontocracy. Istilah ini pertama kali dimunculkan oleh Jean-Jacques Fazy pada 1828, di mana saat itu Prancis juga mengalami masalah yang sama.

Pengamat Politik Eep Saefullah Fatah dalam blog pribadinya, pernah menyatakan kalau politik Indonesia masih dikuasai oleh yang disebut sebagai "generasi pertama politisi reformasi" yang sebagian besarnya telah berusia di atas 50 tahun. Berkuasanya para politikus inilah, yang sebenarnya menurut Eep harus mulai dilawan.

Di sisi lain, ia juga tak memungkiri kalau ada parpol yang bersedia melahirkan dan mengusung politisi lebih muda. Namun biasanya, pada pos-pos yang dianggap strategis, lebih dipercayakan pada "kalangan tua". Sebut saja kasus Ridwan Kamil di Pilgub Jabar dan Emil Dardak di Pilgub Jatim yang ditolak PDIP, hanya karena lebih suka mengusung politikus yang 'lebih tua'.

Ketika Ridwan Kamil dan Emil Dardak pada akhirnya -- berdasarkan hasil hitung cepat (quick count) -- berhasil mengalahkan lawan-lawannya, membuktikan kalau terkadang parpol lah yang berusaha membatasi atau bahkan menutup kesempatan bagi generasi muda untuk maju dan menciptakan regenerasi politik yang dinamis.

Begitu pula dengan pencapresan Amien dan JK, walau dalam demokrasi sangat memungkinkan dan mampu memberikan alternatif pilihan di Pilpres mendatang, tapi apakah tidak lebih baik memberikan kesempata atau elektabilitasnya pada politikus yang lebih muda?  Kembali seperti apa yang dikatakan oleh Cicero di atas, tidakkah lebih mulia bagi bangsa dan negara, bila memberi kesempatan bagi generasi selanjutnya? 

Artikel ini pertamakali tayang di Pinterpolitik.com

Sumber: Mahathir Effect: Generasi Tua, Sudahlah!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun