Mohon tunggu...
Reza Pamungkas
Reza Pamungkas Mohon Tunggu... Jurnalis -
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Kepedean, PDIP Lagi-lagi Keok

29 Juni 2018   18:59 Diperbarui: 29 Juni 2018   19:33 952
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Saat Pemilu, suara yang belum memutuskan biasanya menjadi faktor yang paling menentukan." ~ Evan Esar

Sebenarnya, Evan Esar merupakan penulis humor terkenal di Amerika Serikat yang lahir tahun 1899 dan meninggal pada 1995. Hanya saja, kutipannya di atas tidak bisa dikatakan lucu, karena faktanya memang begitulah yang kerap terjadi. Bahkan di Pilkada Serentak tahun ini pun, kekuatan suara mengambang (swing voter) telah membuktikannya.

Menurut Pendiri Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA, Denny JA, kemenangan dan kekalahan yang terjadi pada Pilkada Serentak kemarin, berdasarkan analisanya, memang dipengaruhi massa mengambang. Setidaknya, di 10 provinsi dan 9 kabupaten/kota yang hitung cepatnya (quick count) dihimpun oleh LSI, Rabu (27/6).

Selain pengaruh adanya isu-isu SARA yang memunculkan sentimen politik identitas, para pemilih juga sepertinya lebih menekankan pilihannya berdasarkan agama dan ikatan kedaerahan. Pesona tokoh yang diusung dan migrasi suara para pemilih, akhirnya menjadi unsur utama, sehingga menciptakan hasil yang mengejutkan di beberapa wilayah.

Kejutan kekalahan seperti yang terjadi di Pilgub Jatim, misalnya, disinyalir sangat terpengaruh dengan jumlah swing voter yang berdasarkan survei Indobarometer mencapai 15,3 persen. Begitu juga di Pilkada Sumut yang persentasenya terbilang sangat tinggi, yaitu mencapai 33,5 persen.

(pinterpolitik.com)
(pinterpolitik.com)
Adanya massa mengambang sendiri, menurut Samuel Huntington dan Joan M. Nelson, merupakan hak setiap warga negara (privat citizen) untuk berpartisipasi atau tidak berpartisipasi dalam kontestasi politik. Walaupun peran serta warga untuk memilih, sebenarnya akan mempengaruhi keputusan pemerintah.

Kekalahan di Kalbar, menurut Denny, juga lebih disebabkan oleh strategi internal partai yang salah mengusung calon dengan indikasi dinasti politik. Sehingga walau PDIP merupakan partai penguasa dan memiliki mesin partai sangat besar, namun kalau tokoh yang diusung kurang populer di wilayahnya, akan membuat mesin partai tak mampu bekerja maksimal.

Pernyataan Denny ini, didukung oleh Maurice Duverger dalam bukunya Mekanisme Sistem Pemilu dan Partai. Sosiolog dan Politikus Prancis tersebut, mengatakan kalau dalam Pemilu di negara yang menganut sistem multipartai, kompetisi antar-partai dipengaruhi dua faktor yaitu dampak mekanikal partai dan strategi internal partai.

Dua faktor itu sendiri, kemudian akan mempengaruhi produk dari marketing politik yang dilakukan oleh para kader di akar rumput atau mesin partai di daerah pemilihan. Sehingga permasalahan figur yang diusung atau personal characteristic, menjadi sangat mempengaruhi, selain program atau kebijakan yang ditawarkan si kandidat tersebut.

Salah Kader dan Citra Buruk Partai

"Pemilu tak jauh berbeda dari bagaimana cara memperkenalkan kandidat kepala daerah dari seberang jalan." ~ Kin Hubbard

Perumpamaan yang digunakan kartunis dan jurnalis Frank McKinney Hubbard di atas, seharusnya menjadi pertimbangan bagi PDIP saat menghadapi Pilkada tahun ini. Apalagi, PDIP juga sempat mengalami pengalaman pahit di Pilkada tahun lalu. Bukan hanya kalah telak di Pilgub DKI Jakarta, tapi juga di 10 provinsi lainnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun