Rachmawati makin tertampar saat melihat bagaimana ayahnya dilemahkan saat rezim Orde Baru bangkit. Dalam otobiografinya, Rachmawati akhirnya memahami alasan mengapa ayahnya bersikap 'melawan' (rebel) saat menghadapi kasus Wisma Yaso. Ia terlepas dari koneksi dunia luar, tak bisa berbuat apa-apa, hingga mengalami depresi. Penggambaran ini mengganggu Rachmawati dan masih menghantuinya hingga hari ini.
Dari sana, kata trauma menjadi penggambaran yang kerap dipakai Rachmawati saat mengingat sepak terjang politik ayahnya. Dari keadaan itu pula, sebuah konsensus dalam keluarga untuk menjauhi politik pun dibangun. Dari sini, kemarahan dan sikap agresifnya terhadap Megawati seakan dapat dipahami, sebab selain sudah melanggar kesepakatan, Megawati dianggap bergerak melenceng jauhdari ideologi Marhaenisme yang menjadi dasar ideologi berpolitik Soekarno.
Walau bukan menjadi anak yang 'diidolakan' ayah, Rachmawati awalnya kerap digadang sebagai anak yang paling dekat secara ideologis. Hal ini tertulis dalam Partai Politik pun Berguguran yang ditulis oleh Denny JA. Sikap 'permusuhan' yang memang berawal dari ideologi dan latar belakang psikologis tersebut, kini sudah mengalir lebih jauh ke arah perebutan kekuasaan politik.
Perselisihan di Ranah Politik
Seperti yang sudah disebutkan di awal, Rachmawati mantap memposisikan dirinya sebagai lawan dari Megawati dan juga Sukmawati -- dari kasus puisi Ibu Indonesia. Dapat dikatakan, Rachmawati menempati gerbong kelompok oposisi pemerintah. Tentu saja posisi politiknya ini masih berhubungan dari perseteruan dengan sang kakak, sebagai pemimpin partai yang sedang mendominasi.
Persaingan antar saudari yang kentara ini, sebetulnya juga sudah berlangsung jauh sebelum polarisasi Jokowi VS Prabowo terbentuk. Di tahun 2000-an, Rachmawati berhasil mengambil suara pendukung PDI Perjuangan yang kecewa dengan membangun Partai Pelopor.
Mulai dari titik tersebut, langkah Rachmawati yang agresif terhadap Megawati, yang menurut McIntyre, terindikasi oleh keadaan psikologis, kini 'membesar' menjadi kompetisi mendapatkan kekuasaan.Â
Pada akhirnya, dunia politik bagi Rachmawati, selain dipandang sebagai arena mengkonfrontasi Megawati dan Sukmawati yang berseberangan secara pandangan politik, juga ajang pertarungan memperoleh kekuasaan. Dengan demikian, kompetisi merebut kekuasaan menjadi biang konflik, seperti yang diistilahkan oleh Maurice Duverger, sosiolog asal AS, bagi hubungan tiga saudari Megawati, Rachmawati, dan Sukmawati.
Keberadaan Rachmawati sebagai bagian dari polarisasi politik nasional sekaligus 'pemecah' dalam trah keluarga Soekarno, mengingatkan pada apa yang pernah disampaikan oleh Philip Meyer, penulis fiksi asal AS, persaingan antar saudara kandung memang kerap mengantarkan seseorang pada kompetisi paling pahit nan tak berujung. (A27)
Artikel ini pertama kali tayang di Pinterpolitik.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H