Tapi, kolega Amien Rais dan Prabowo, tetap bersikukuh bahwa pertemuan ketiga tokoh itu sebenarnya merupakan sebuah ketidaksengajaan.
Yang jelas, orang pasti bertanya-tanya: bagaimana mungkin pertemuan di kota suci Makkah itu terjadi tanpa sengaja? So, supaya pertemuan ini tidak dibesar-besarkan, maka disepakati saja bahwa pertemuan ini merupakan bagian dari agenda politik oposisi.
Setidaknya, pendapat di atas dibenarkan oleh pengamat politik Universitas Indonesia, Arbi Sanit. Arbi melihat pertemuan itu sebagai agenda politik yang saling menguntungkan bagi ketiganya.
Menurut Arbi, Amien Rais yang merupakan sosok yang dekat dengan umat Islam ingin memberikan keuntungan politis bagi kubu oposisi, sehingga mendapatkan restu dari umat Islam. Artinya, dengan pertemuan itu, kubu oposisi sebenarnya secara terang-terangan telah mempraktikan agama sebagai alat untuk mencapai tujuan politik.
Ya, ini memang bukan fenomena baru dan rasanya makin hari politisasi agama malah dianggap lazim. Pemikir politik Vedi Hadiz misalnya, seperti dikutip dari Tempo, dalam konferensi bertajuk "Indonesia in the World: Globalisation, Nasionalism and Sovereignity" menilai pluralisme sosial di Indonesia telah menjadi ancaman dari praktik politik yang berbasis identitas, salah satunya agama.
Menurut Hadiz, praktik politik di Indonesia dewasa ini makin berbahaya karena melibatkan nilai-nilai konservatisme Islam yang tujuannya hanya satu, yakni memperoleh dukungan sebanyak-banyaknya dari masyarakat.
Padahal, agama dalam relasi sosial, seharusnya bisa dijadikan sebagai senjata atas segala bentuk dominasi politik yang berbau oligarki dan diskriminasi.
Hal ini pernah terjadi di Amerika Serikat (AS) melaui gerakan Black Church yang melakukan perlawanan terhadap rasisme di negara tersebut. Black Church merupakan sebuah gereja yang dikhususkan bagi masyarakat Afrika-Amerika, dan didirikan untuk menentang pendukung rasisme yang seringkali berasal dari gereja-geraja kulit putih.
Jika seandainya, dalih yang dipakai bahwa pertemuan di Makkah merupakan bentuk melawan ketidakadilan -- misalnya terkait tuduhan Amies Rais pada Desember 2017 yang menyatakan "rezim Jokowi memecah belah umat" -- tentu ini menjadi polemik yang lain. Paling tidak, pandangan itu adalah subjektifitas Amien Rais.
Faktanya, elit politik di Indonesia memang melihat agama sebagai entitas yang dapat menolong mereka dalam praktik-praktik politik yang pragmatis. Sehingga, berbagai upaya terus dilakukan, salah satunya melalui personal branding.