Beberapa selentingan juga menyebut bahwa saat pembahasan amandemen UUD 1945, gedung MPR RI didatangi oleh beberapa pihak asing, yang menyediakan "pemulus" agar konstitusi negara ini diamandemen sesuai keinginan mereka. Politisi senior, Permadi, bahkan menunjuk National Democratic Institute (NDI) sebagai salah satu lembaga yang terlibat dalam proses ini. Namun, keterangan ini perlu pembuktian lebih lanjut.
Selain itu, posisi Permadi yang kini menjadi politisi Partai Gerindra tentu saja punya bias politik, mengingat Gerindra -- mungkin -- menjadi satu-satunya partai di Indonesia yang memuat cita-cita mengembalikan UUD 1945 ke versi asli dalam manifesto politik partai berlambang kepala rajawali tersebut.
Sebagai tambahan, UUD 1945 versi asli memang lebih melindungi negara dari campur tangan asing -- terutama dalam hal pengelolaan sumber daya alam -- namun versi ini jugalah yang digunakan oleh Soeharto untuk melegitimasi kekuasaannya selama 32 tahun.
Anyway, faktanya terminologi penumpang gelap memang telah mengakar, bahkan sejak demokrasi di republik ini masih mencari bentuknya. Dan kini, istilah tersebut kembali muncul menjelang Pilpres 2019. Akankah Pilpres 2019 kembali melibatkan para penumpang gelap?
Demokrasi yang "Dimiliki"
Nils Bubandt memang menyebut bahwa istilah penumpang gelap mengindikasikan bahwa politic is possessed. Politik dimiliki atau dipengaruhi oleh tangan-tangan tertentu. Hal ini jelas memprihatinkan. Ini menunjukkan bahwa Indonesia sesungguhnya belum punya kedaulatan politik karena masih ada campur tangan asing di negara ini.
Namun, jika kembali pada konteks Masinton Pasaribu, apakah hal itu yang memang ingin disampaikannya?
Ada konsep yang disebut sebagai logic and language. Konsepsi ini menyebutkan bahwa seringkali bahasa mempunyai tujuan yang sangat banyak ketika digunakan untuk menyampaikan informasi tertentu. Sebuah pernyataan tertentu bisa jadi hanya bersifat menjelaskan sesuatu. Namun, ia juga bisa bertujuan untuk mengajak orang melakukan hal-hal tertentu tergantung konteks dan cara penyampainnya.
Masinton memang berbicara dalam konteks politik identitas yang belakangan memang menjadi warna utama menjelang kontestasi Pilpres 2019. Tuduhan bahwa penumpang gelap itu ingin "mengganti Pancasila" mau tidak mau mengarahkan orang pada kelompok-kelompok tertentu -- misalnya Hizbut Tahrir dan kelompok sejenis -- yang memang menjadi lawan politik kubu nasionalis.
Namun, perlu disadari juga bahwa faktanya, politik identitas tidak berdiri sendiri. Konteks keterlibatan asing dalam mencampuri ajang pemilihan presiden sangat mungkin masuk lewat narasi mengganti Pancasila tersebut. Apalagi, kebijakan pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) kini telah mulai bertolak belakang dengan kepentingan negara-negara Barat seperti Amerika Serikat (AS). Topik ini bisa dibaca pada tulisan lain di PinterPolitik.com. Bukan rahasial lagi jika negara Paman Sam ini punya kepentingan yang sangat besar di Indonesia.
So, apakah itu berarti demokrasi Indonesia "dimiliki" AS?
Bisa jadi demikian. Yang jelas, lembaga macam NDI bermarkas di Washington DC, AS. Sulit untuk melihat tidak adanya kesejalanan jika lembaga semacam ini terlibat aktif di Indonesia. Persoalannya tinggal sampai kapan kita membiarkan kedaulautan politik kita seperti ini? Memang, seperti kata Augusto Pinochet di awal tulisan ini, memperjuangkan demokrasi yang sesungguhnya seringkali membuat sebuah negara bermandi darah. (S13)