Mohon tunggu...
Reza Pamungkas
Reza Pamungkas Mohon Tunggu... Jurnalis -
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Penumpang Gelap di Pilpres 2019

4 Juni 2018   10:53 Diperbarui: 5 Juni 2018   09:24 568
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Konsep penumpang gelap memang istilah yang agak sulit dijelaskan. Profesor ilmu antropologi dari Aarhas University, Denmark, Nils Bubandt dalam bukunya yang berjudul Democracy, Corruption and the Politics of Spirits in Contemporary Indonesia menyebutkan bahwa istilah penumpang gelap punya makna yang kontekstual terhadap politik domestik Indonesia.

Bubandt menerjemahkannya sebagai "dark passengers" -- tentu saja secara harafiah -- namun ia memberikan frasa tersebut makna yang sama dengan "stowaways" atau "free riders". Bubandt menyebut istilah penumpang gelap sebagai terminologi yang dipakai untuk menjelaskan kekuatan tertentu yang ingin mengambil keuntungan dari situasi politik tertentu.

Seringkali kekuatan tersebut terlihat berada di pihak yang sama, namun punya agenda yang tidak jarang berseberangan dan justru berakibat buruk pada orang atau pihak-pihak yang bertarung.

pinterpolitik.com
pinterpolitik.com
Jika ditelusuri lebih jauth, istilah penumpang gelap ini pertama kali digunakan oleh Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) saat masih menjabat sebagai Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) di era pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur).

Saat itu, sekitar tahun 2001, berdasarkan informasi intelijen yang diperolehnya dari Badan Intelijen Negara (BIN), SBY memperingatkan para mahasiswa yang kerap berdemonstrasi untuk berhati-hati pada penumpang gelap yang berpotensi membuat kekacauan dan menyebabkan chaos.

Istilah tersebut kemudian kembali populer ketika digunakan oleh Andi Alfian Mallarangeng saat menjabat sebagai Juru Bicara Presiden SBY pada tahun 2009 untuk mengomentari rencana demonstrasi mahasiswa yang berpotensi ditunggangi pihak-pihak tertentu. Saat itu isu yang tengah mencuat ke permukaan adalah terkait skandal Bank Century.

Andi bahkan menyebut penumpang gelap tersebut sangat mungkin adalah pihak-pihak yang ada di lingkungan kekuasaan SBY, utamanya dari partai-partai koalisi. Nils Bubandt sempat mencatat bahwa tuduhan itu sempat mengarah ke Partai Golkar, PDIP dan PAN.

Di kubu yang berbeda, istilah penumpang gelap juga pernah dikemukakan oleh Megawati Soekarnoputri pada Pilkada Jakarta 2012 lalu. Saat itu, Ketua Umum PDIP ini menuding ada pihak-pihak yang merasa diri berjasa memenangkan Joko Widodo (Jokowi) dan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dalam kontestasi politik tersebut. Santer beredar kabar bahwa yang dimaksud sebagai penumpang gelap adalah Partai Gerindra.

Tiga tahun kemudian, setelah Jokowi terpilih menjadi Presiden, Mega kembali mengeluarkan pernyataan tentang adanya penumpang gelap di sekitar pemerintahan Jokowi. Para penumpang gelap itu memanfaatkan kekuasaan Jokowi untuk mencapai kepentingan mereka.

Jika demikian, siapa sebetulnya mereka-mereka yang oleh Bubandt juga disebut sebagai "tangan-tangan gaib" ini?

Jelas bahwa siapa saja bisa menjadi penumpang gelap yang dimaksud. Namun, jika berbicara tentang konteks demokrasi di Indonesia, beberapa sumber menyebut istilah penumpang gelap berhubungan dengan pihak-pihak yang punya agenda sendiri melalui reformasi 1998, salah satunya lewat amandemen Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.

Amandemen yang terjadi hingga 4 kali itu oleh banyak pihak dianggap mengakomodir kepentingan "tangan-tangan gaib" -- mereka-mereka yang ingin meliberalisasi Indonesia. Memang hal ini terdengar seperti sebuah teori konspirasi. Namun, faktanya setelah amandemen ke-4 terjadi, berbagai perubahan besar terjadi di republik ini. Yang kita bicarakan ini adalah program-program macam privatisasi BUMN, penghapusan subsidi, hingga deregulasi di berbagai sektor.

pinterpolitik.com
pinterpolitik.com
alam sebuah tulisan, peneliti dari Institute For Global Justice (IGJ), Salamuddin Daeng, menyebut seluruh rencana amandemen terhadap UUD 1945 tercantum dalam puluhan Letter Of Intent (LOI) dan Memorandum of Understanding (MOU) antara pemerintah Indonesia dengan International Monetery Fund (IMF). Menurutnya, desakan amandemen konstitusi tidaklah murni dari dalam atau mewakili kehendak rakyat, melainkan karena ada kepentingan asing untuk menjalankan liberalisasi di Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun