Mohon tunggu...
Pinky Nur Annisa
Pinky Nur Annisa Mohon Tunggu... Mahasiswa - Sastra Indonesia Universitas Pamulang

Mahasiswi Sastra Indonesia dari Universitas Pamulang 2020

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Berkaca dari Film Before, Now and Then (Nana) Mengapa Wanita selalu di Tindas Sejak Zaman Dahulu

6 Juli 2024   10:35 Diperbarui: 6 Juli 2024   10:44 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Akhir-akhir ini media social dihebohkan dengan kasus perselingkuhan yang dilakukan oleh peradi yang terkenal sering membantu kasus perselingkuhan selebriti. Sang anak dan istri sah datang ke kediaman pelakor karena sudah gerah selama 3tahun tidak pernah di berikan perhatian ayahnya karena sang ayah memiliki selingkuhan. Dan ternyata keluarga ayahnya membela sang ayah.

Film Before, Now & Then (Nana) yang tayang tahun 2022 di Prime Video dan berhasil mendapatkan berbagai penghargaan di nasional dan internasional. Film ini merupakan adaptasi dari bab 1 novel Jais Darga namaku, kisah nyata ibu dari seorang produser ternama di Indonesia. Menceritakan kisah Nana seorang istri yang tuntut menjaga rahasia suaminya walau suaminya berselingkuh. Sebagai seorang istri dirinya di tuntut untuk terus berbakti apapun keadaan yang ia hadapi, dirinya tidak dapat mengambil keputusan dan takut berpendapat di hadapan keluarga suaminya karena selalu dipandang lemah. Kemenangan atas dirinya sangat sulit diraihnya karena gaslighting yang di bangun suaminya serta keluarganya.

Dari film Before, Now & Then (Nana) ini memperlihatkan Wanita di zaman 60an dianggap remeh dan di tuntut menjaga rahasia suaminya sendirian tanpa tahu harus mengutarakan kepada siapa. Tidak ada kekuatan untuk menuntut suaminya karena menduakannya. Bahkan hal ini sering terjadi di zaman sekarang, zaman dimana Wanita memiliki wadah berdiskusi dan meinta bantuan. Zaman Wanita bisa speak up atas perilaku tidak adil di rumah tangganya. Namun kenyataannya Wanita masih saja banyak yang berakhir seperti Nana dijajah haknya dianggap tidak tahu malu dan berdosa karena menebarkan aib suaminya. Effect jera dari perselingkuhan yang di perjuangkan para wanita sering di remehkan. Wanita dianggap hanya menghakimi sendiri suaminya. Bahkan di meja hijau saja sering di persulit jika Wanita yang menuntut.

Kalimat "pria harus melindungi Wanita" ini sepertinya sudah disalah gunakan. Seharusnya jika melindungi bukan berarti mengencani semua Wanita, tapi menjaga mereka dari marabahaya dan jika sudah beristri menjaga istrinya seharusnya menjadi prioritas. Jika sudah beristri melindungi Wanita lain bisa dalam bentuk memberikan hak mereka, hak mereka berpendapat dan memberikan hak mereka sejajar jabatannya di dunia professional. Bukan malah mensejajarkan semua Wanita seolah-olah Wanita hanya boneka yang di pajang di lemari, dan di koleksi.

Sangat disayangkan saat kita memilii banyak Lembaga perlindungan Wanita justru lemabag tersebut tidak dapat membantu karena tertahan perundang undang. Belum sampai perundang-undangan bahkan baru sampai ingin membela sang korban justru tidak dapat melanjutkan karena sering terjadi tuntuan keluarga. Keluarga yang seharusnya juga menjaga korban seringnya malah membantu pelaku karena dianggap Pria tidak bersalah karena sudah menafkahi. Tanpa pria Wanita tidak bisa hidupi anaknya. Padahal seharusnya mau berpidah atau tidak sang anak harus tetap di nafkahi bapaknya. Wanita juga harus mendapatkan bagiannya karena itu hakny. Selayaknya juga Wanita masih bisa bekerja apapun keadaanya. Ini juga di sayangkan pekerjaan saat ini untuk Wanita seringnya melarang Wanita menikah karena dianggap menyusahkan Perusahaan saat dirinya hamil atau memiliki anak karena harus focus menjaga anak. Padahal seharusnya Perusahaan dan pemerintah memberikan fasilitas untuk membantu para single parent terutama Wanita yang masih memiliki anak dibawah umur untuk memberikan layanan subsidi dailycare kepada mereka. Minimal membantu mereka merawat anak mereka saat ibunya bekerja. Bukan mengambil keputusan menolak para ibu yang sudah memiliki anak.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun