Payung-payung itu beterbangan memenuhi cakrawala hingga langit menjadi hitam gelap. Orang-orang menengadah takjub, bingung, cemas, serta takut. Tidak ada yang tahu apa yang sebenarnya terjadi. Ribuan payung hitam tiba-tiba saja muncul dan bertebaran di angkasa. Banyak orang terpana menyaksikan fenomena itu, tak sedikit pula yang lari kesana kemari mengira kiamat sudah datang.
Pelakunya tak lain adalah Surti, si penjual payung yang mati gantung diri. Sebabnya sederhana, membuktikan cinta pada lelaki pujaanya. Dia pernah bersumpah, demi cinta, maut pun akan dilewati. Dan dia tidak main-main. Masalah hati, wanita bisa lebih nekad dari laki-laki.
*
Tejo hanya pemuda desa biasa yang terpikat pesona gadis penjual payung. Begitu juga Surti yang entah bagaimana jatuh hati pada pria yang suka menggombal itu. Surti selalu tersipu malu mendengar gombalan Tejo yang kadang tidak masuk akal. Tejo memang pintar menggombal sedangkan Surti mudah digoda. Bermodal mulut manis, Tejo berhasil merampok hati Surti.
Mereka telah lama merajut kasih, dan menunggu saat yang tepat untuk meresmikan hubungan. Sayang, menikah tidak semudah dan semurah membuat anak. Semuanya serba uang. Belum lagi nanti ketika surti mengandung. Sekarang susu anak lebih mahal dari harga diri manusia. Tejo yang hanya kerja serabutan dan Surti si penjual payung tentu saja tidak sanggup.
*
Suatu sore Tejo berkunjung ke rumah reot surti. Berpamitan kepada Surti, ingin merubah nasib ke Ibu kota. Tentu saja Surti menolak mentah-mentah, tidak ingin jauh-jauh dari calon suaminya itu. Namun dengan mulut manisnya, Tejo berhasil meyakinkan Surti. Bahwa semua ini semata-mata untuk mereka berdua, untuk pernikahan mereka, untuk anak-anak mereka kelak. Dengan berat hati Surti merestuinya.
Tejo juga berpesan agar Surti tetap membuat payung. Satu hari satu payung. Guna membuktikan kesetiaan Surti padanya, juga sebagai tanda cinta mereka yang abadi. Kelak, Tejo akan pulang membawa puluhan sapi, sekarung emas, dan segerobak berlian. Saat itu tejo akan mempersunting Surti dan menghadiahi Surti kehidupan yang layak. Payung-payung itu akan diterbangkan pada hari pernikahan mereka, sebagi lambang ketabahan cinta.
Surti memberikan segumpal uang untuk bekal Tejo bertarung di Ibu kota. Semua tabunganya tanpa disisakan seperpun. Juga bekal baju, makanan, ransel, dan benda lain yang menurut Surti penting. Begitulah, dengan restu Surti, Tejo berangkat menyongsong takdir baru. Temaram senja membingkai perpisahan mereka.
*
Musim demi musim berlalu, daun tua berguguran, daun muda tumbuh. Namun Surti masih sama seperti dulu. Surti masih tetap Surti si pembuat payung, hatinya tak pernah ragu sedikitpun. Satu hari satu payung. Berhari-hari, berbulan-bulan, bertahun-tahun.