Dia datang menjengukku, sama seperti dulu, tanpa ada kabar sebelumnya. Tiba-tiba saja sudah ada di dalam rumah, diruang tamu, membaca koran sambil menyesap cerutu kesayangannya. Kulit putih pucatnya selaras dengan pakaian serba hitam yang dia pakai. Pantofel hitam, celana panjang hitam dan jas hitam dikenakan dengan rapi. Disempurnakan dengan dasi kupu-kupu yang mencekik lehernya. Tophat yang juga bewarna hitam meghiasi kepalanya, menutupi rambut tua yang penuh dengan uban. Tongkat kayu diletakkan disamping kursi, agar mudah digapai jika ingin beranjak.
Cerutu tua yang mungkin berusia ribuan tahun dihisap dengan kejam, menyedot nyawanya lalu mengepulkan asapnya ke udara, menggerayangi udara kemudian berpamitan lewat ventilasi. Sebelum berpamitan, asap itu membentuk kata “ Mati ”. Lelaki berkumis tebal itu sesekali melirik arloji yang melingkari tangan kerutnya. Arloji tua yang mungkin juga berusia ribuan tahun itu berdetak dengan pelan namun terdengar sampai kesetiap sudut rumah. Detakan arloji itu berirama, seolah sedang menghitung sesuatu, menghitung nyawa seseorang.
***
Dulu waktu ibu sakit, saat paru-parunya mengalahkan semangat hidupnya, aku tahu dia akan datang menjenguk. Saat itu usiaku masih seumur jagung, baru saja naik kelas tiga SD. Setiap sore dan malam aku lihat dia berjalan mondar-mandir disebelah rumah, diseberang jalan atau diatas genteng tetangga sebelah. Hentakan sepatu pantofel dan tongkat kayu membentuk irama yang khas, irama yang membuat pohon menggugurkan daunnya, burung parkit berhenti bernyanyi dan anjing lari ketakutan. Lelaki tua itu mencuri pandang kearah rumahku sambil sesekali melirik arloji ditangan kirinya, seolah sedang menunggu sesuatu. Aku intip dia lewat jendela kecil diruang tamu, sapu lidi kupegang erat-erat, cukup besar untuk membuatnya bonyok. Aku tunggu berjam-jam hingga larut malam, namun tak ada yang terjadi. Akhirnya lelaki itu menyerah, berjalan pulang dan menghilang dalam kegelapan. Mungkin dia tahu aku akan menghajarnya jika berani menginjakan kaki dirumahku.
Esok harinya aku tidak melihat dia lagi. Tidak disebelah rumah, tidak diseberang jalan, tidak juga diatas tiang listrik tempat biasa dia tidur siang. Supaya lebih yakin aku menggeledah seisi rumah, siapa tahu dia ternyata ada didalam rumah. Ruang tamu, ruang keluarga, ruang makan, dapur, kamar tidur ayah, kamar tidur ibu dan garasi semuanya kosong. Tidak ada seorangpun dirumah, kecuali aku dan Ibu. Sedikit lega ternyata laki-laki itu tidak jadi menjenguk ibu, karena pasti akan ada yang menangis.
Namun tiba-tiba saja langit menjadi hitam pekat, udara menjadi dingin dan awan gelap yang datang entah darimana mengerumuni rumahku. Awan gelap itu memaksa masuk melewati setiap celah yang ada, memenuhi seisi rumah, membuat udara semakin sesak. Mendadak aku merasa sedih dan ingin menangis. Tanpa pikir panjang, aku langsung berlari kekamar tempat ibu tidur, memberanikan diri menembus awan gelap yang menyelimuti rumah. Betapa kagetnya saat aku lihat dia ada didalam rumah, diruang makan, menyantap sup sambil sedikit tersenyum kearahku. Saat itulah terakhir kali aku melihat Ibu.
Sejak saat itu aku memanggilnya lelaki pembawa tangis, selalu saja ada yang menangis setiap dia datang berkunjung atau hanya sekedar lewat sebentar. Tidak ada yang tahu dari mana asalnya atau kemana dia akan pergi. Tiba-tiba saja muncul dan begitu juga dia menghilang, seperti jailangkung yang datang tak diundang dan pulang tak diantar. Seringkali aku melihat dia berjalan mondar-mandir mencari sesuatu,mencari rumah yang akan dikunjungi berikutnya, dan selalu saja ada kesedihan yang mengerubungi rumah tersebut.
Pernah aku melihat dia mengunjungi Pak Sabar, saudagar kaya juragan sapi. Kali ini dia datang dengan kereta kuda, yang juga serba hitam. Kereta kuda itu tidak datang dari jalan raya atau gang sempit sebelah rumah. Namun tiba-tiba saja muncul dari atas langit, berjalan menapaki udara. Bunyi gemercing lonceng menakuti makhluk hidup disekitarnya. Burung gagak pembawa kematianpun takut berada didekatnya, terbang terbirit-birit kearah yang berlawanan. Kereta kuda itu berhenti tepat didepan rumah mewah Pak Sabar.
Pemiliknya turun dengan pakaian serba hitam seperti biasa, dibantu tongkat kayu yang menemaninya berjalan. Lelaki tua itu mengetuk pintu, kemudian berbincang sebentar dengan Pak Sabar. Mereka lalu masuk ke dalam rumah, entah apa yang dibicarakan namun terdengar suara tangisan dari arah rumah tersebut. Selang beberapa saat lelaki itu keluar dengan menggandeng Bu Siti, istri Pak Sabar. Bu Siti dengan terpaksa masuk ke dalam kereta kuda, diikuti lelaki berpakaian gelap itu, tanpa mempedulikan Pak Sabar yang menangis sejadi-jadinya diambang pintu. Kereta kuda hitam meluncur menembus angin, bunyi gemercing lonceng menggema sampai kepelosok desa, kemudian memudar dalam gelapnya malam. Pak Sabar tidak bisa berbuat apa-apa saat istrinya dibawa kabur, tidak lapor polisi tidak juga berkelahi melawan. Bahkan harta yang berlimpahpun tidak bisa membeli kembali istrinya, katanya lelaki tua itu tidak menerima suap. Pak Sabar hanya bisa menangis.
Sekarang lelaki tua itu ada didalam rumahku, diruang tamu, membaca koran sambil menyesap cerutu kesayangannya. Headline beritanya “ Kematian Bisa Datang Kapan Saja”. Aku dan dia sudah berteman sejak lama. Sejak jamannya ayah, ibu, kakek, nenek hingga jamannya kakek buyut. Penyakit kanker yang menghinggapiku setahun belakangan membuat hubungan kita semakin akrab. Beberapa kali dia datang mengujungiku, kadang hanya menanyakan keadaanku, kadang juga kami mengobrol hingga larut malam.
“Sudah saatnya”. Katanya sambil berjalan membukakan pintu untukku. Didepan rumah sudah ada kereta kuda hitam yang siap mengantarkannku pada kehidupan selanjutnya. Ketempat ayah, ibu, nenek, kakek dan kakek buyut tinggal.