Mohon tunggu...
BaBe
BaBe Mohon Tunggu... Supir - Saya masih belajar dengan cara membaca dan menulis.

Banyak hal menggelitik di dunia ini yang pantas dikupas!

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tak Semahal Omongan si Pembual

9 Januari 2019   08:12 Diperbarui: 9 Januari 2019   08:29 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Prasasti di samping sumur tua sebagai penanda kapan dibangunnya lokasi tersebut. (foto: koleksi pribadi)

Papua, daerah yang sering dikatakan mahal biaya hidupnya. Itulah opini yang masih terbentuk dan membekas di otak saya sebelum mengunjunginya.

Desember 2018, beberapa hari sebelum Natal, saya berkesempatan mengunjungi Papua untuk pertama kalinya. Setelah penerbangan menuju Ujung Pandang selama beberapa jam, dan menunggu transit selama 3 jam dalam dinginnya malam, akhirnya pesawat menuju Manokwari terbang menyambut fajar di antara gelapnya malam yang memudar.

Pukul 08.15 pagi pesawat menyentuh landasan Bandara Rendani sesuai jadwal. Sebuah bandara kecil dengan dengan gedung berlantai dua. Sebuah cerita tentang mengunjungi Papua saya mulai pagi itu. Kaki kiri terlebih dahulu menginjak aspal bandara saat cahaya matahari mulai menerpa selepas rintik hujan yang mendinginkan suasana.

Bang Aldi, sopir berdarah blasteran Ambon dan Manado yang sudah bikin janji sebelumnya ternyata sudah menunggu di sana dengan senyumnya. Ah.... sebuah keramahan yang mulai kudapat disana, lebih ramah dari senyum pramugari yang menghantarku turun dari pesawat sebelumnya.

Setelah perjalanan sekitar 20 menit, saya tiba di salah satu hotel di Manokwari, ibukota Papua Barat. Perjalanan ke Manokwari kali ini adalah sebuah keinginan untuk membuktikan bahwa di Manokwari saya bisa membuktikan sendiri berapa harga-harga di sana tidak jauh beda dengan di Jawa.

Selepas dari hotel saya minta sopir untuk mengantarkan ke salah satu pantai dengan kapal-kapal kecil di sana. Tujuan saya siang itu adalah Pulau Mansinam, sebuah pulau kecil yang terletak 20 menit perjalanan dengan perahu. 

Pulau di mana gereja kristen pertama kali didirikan sebagai tanda agama mulai menyentuh pulau Papua. Kapal motor yang saya naiki dengan penumpang sekitar 15 orang tersebut ternyata cukup dibayar 5 ribu. Ongkos yang sangat murah untuk jarak sejauh itu. Jauh lebih murah dari argo taksi di kota-kota kecil.

Sesampai di Pulau Mansinam, saya jalan kaki ke sebuah gereja tua dengan sumur air tawar yang sangat jernih dan sejuk airnya. Terdapat prasasti di samping sumur, yang menunjukkan tahun pembuatan gereja tersebut. Tertulis 1872 sebagai penandanya. 

Dari gereja tua tersebut ada jalan menanjak sejauh 500 meteran yang mengantarkan saya ke sebuah gereja besar yang dibangun oleh Pemerintahan Joko Widodo di 2015 lalu. Gereja yang sangat besar dan luas, yang saya lihat jarang digunakan kecuali untuk acara besar.

Prasasti di samping sumur tua sebagai penanda kapan dibangunnya lokasi tersebut. (foto: koleksi pribadi)
Prasasti di samping sumur tua sebagai penanda kapan dibangunnya lokasi tersebut. (foto: koleksi pribadi)
Setelah beberapa kali mengambil gambar kembali saya jalan kaki naik sejauh satu kilometer, dengan suara alam ditengah-tengah pepohonan yang tinggi dan panasnya sengatan matahari, sampai juga saya di patung Jesus yang menjulang cukup tinggi.

Posisi matahari pukul 11 pagi itu hampir tegak lurus membentuk bayangan di lantai yang aku pijak. Setelah beberapa foto dan video saya ambil, saya langsung pakai untuk update di media sosial, dan juga saya kirim foto untuk keluarga di Jawa. Bersyukur di lokasi tersebut sinyal masih mampu menghantarkan koneksi yang cepat, sehingga setiap update bisa langsung mendapatkan respon dari teman-teman.

Setelah istirahat sekitar 15 menit di bawah Patung Jesus, saya kembali jalan, turun kembali ke pantai dengan jalan kaki. Tetesan keringat tentu tak bisa dihindari. Dalam penantian menunggu perahu yang datang, saya coba membeli minuman es yang dicampur minuman sachet-an di kios (warung) di pantai itu. Satu plastik minuman tersebut dihargai 2.000 harga yang saya kira cukup pantas untuk harga minuman di obyek wisata. Bahkan terbilang murah.

Sekembalinya di Manokwari, setelah istirahat di hotel. Saya sengaja keluar hotel untuk masuk ke salah satu supermarket terdekat. Tujuan saya adalah satu, ingin cek harga barang di supermarket.  Ternyata saat masuk, saya tidak menemukan label harga di rak. Hanya satu dua barang saja yang ada labelnya. 

Iseng saya coba pesan Pop Mie yang langsung di sedu di situ, lalu saya ambil Nescafe kaleng yang dingin dari kulkas, serta FresTea botol besar dan satu bungkus biskuit Malkis Abon, dari keempat barang yang saya beli tersebut, ternyata kasir menyebutkan angka 36 ribu. Nominal yang jauh di luar perkiraanku, karena taksiranku bila mahal angkanya pasti di antara 50-70 ribu. Ternyata harga di Manokwari hanya terpaut beberapa ribu saja dibanding di Jawa.

Pagi harinya, biar tidak penasaran, harga di pasar tradisional pun ikut saya cek. Saya mendapati harga sayur, bumbu, dan lain-lain menggunakan model per paket / piring, satu piring harganya 5.000 rupiah, Baik itu tomat, cabe, jeruk, bawang, brambang, dan lain-lainnya. Ini cukup memudahkan dalam membeli. Harga ikan pun cukup murah, ikan kembung harga per kilonya tidak lebih dari 15 ribu.

Dari blusukan ke pasar dan supermarket tersebut saya mendapati harga yang cukup murah, tidak mahal seperti yang disampaikan para pembual.

Hal yang juga menarik adalah banyaknya konter penjual pulsa, ini menandakan penggunaan gadget di Manokwari cukup banyak dan menjamur. Sinyal selular dari operator merah cukup bagus di sini, sehingga kita bisa update media sosial dengan mudahnya. Sedangkan sinyal Si Biru dan Si Kuning harus bekerja keras.

Mungkin tahun depan ketiga operator tersebut akan saling berlomba menguatkan sinyalnya, ini dikarenakan Pemerintah sudah hadir sepenuhnya menggarap jaringan fiber optik / pita lebar yang menghubungkan Manokwari dengan Ibukota dan kota-kota lainnya. Jaringan pita lebar yang masuk dalam proyek Palapa Ring tersebut sebentar lagi lengkap 100% jaringan fisiknya. Sehingga koneksi cepat akan mudah di dapat.

Pemerintah melalui BAKTI (Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi) berhasil menyelesaikan pembangunan jaringan pita lebar yang menghubungkan semua kota/kabupaten dengan koneksi internet yang cepat. Ini sebuah prestasi, karena impian semua masyarakat adalah mendapatkan akses internet cepat.

Semoga setelah jaringan fisiknya selesai, seluruh operator bisa mengoneksikan BTS-BTS nya dengan fiber optik, sehingga sinyal yang dipancarkan cukup kuat untuk diterima masyarakat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun