Mohon tunggu...
BaBe
BaBe Mohon Tunggu... Supir - Saya masih belajar dengan cara membaca dan menulis.

Banyak hal menggelitik di dunia ini yang pantas dikupas!

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Jas Merah dalam Memahami Soal Tanah

25 Agustus 2018   09:59 Diperbarui: 25 Agustus 2018   10:20 230
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bila kita melihat banyak persoalan di negeri ini, terutama tentang pemahaman terhadap sejarah, kita akan menemukan banyak hal baru yang kadang tidak kita pahami dengan baik. 

Ada satu situasi yang banyak orang tidak tahu bahwa mereka terjebak dengan satu kondisi yang di sebut anakronis (berpikir masa lalu dengan membandingkan dengan keadaan masa sekarang), sebuah situasi yang sangat tidak tepat untuk dipakai dalam memahami sebuah sejarah.

Contoh sederhana dari anakronis adalah, kita berpikir bahwa situasi zaman dulu itu sama persis dengan masa sekarang, kita tidak boleh membandingkan apple to apple, karena bumi ini berkembang karena adanya perubahan budaya atau perilaku manusia diatasnya.

Kita mengenal istilah Jas Merah (Jangan sekali-kali melupakan sejarah), sebuah istilah yang digaungkan oleh pendiri negeri ini, Ir Soekarno. Hal yang sangat logis adanya, dimana sejarah adalah bagian yang membentuk negeri ini.

Dalam dunia hukum di Indonesia, mayoritas undang-undang yang berlaku adalah peninggalan Kolonial Belanda, adapun sekarang makin lengkap dan makin detail masing-masing pasalnya, itu dibuat menyesuaikan perkembangan zaman.

Beberapa tahun terakhir kita dihadapkan pada salah satu topik bahasan soal hukum pertanahan, yang menyangkut kepemilikan tanah. Karena luasnya wilayah darat di negeri ini, menjadikan tanah adalah salah satu obyek yang sering dibenturkan pada sengketa kepemilikan.

Tanah peninggalan Pemerintahan Kolonial Belanda yang sekarang sudah berubah menjadi tanah negara hampir semua bukti kepemilikannya ada dalam bentuk grondkaart dan dokumen pendukungnya. Tentu hal tersebut beda dengan hukum pertanahan sekarang, yang setiap jengkal tanah harus ada sertipikatnya, ini hal yang sedang digalakkan oleh Joko Widodo selaku presiden dengan membagikaan jutaan sertipikat tanah kepada masyarakat. Tujuannya adalah untuk memperjelas bukti kepemilikan tanah.

Di wilayah Lampung, ada tokoh masyarakat, sebut saja Andi Surya namanya, yang tidak mengetahui atau tidak memahami bahwa grondkaart adalah bukti dasar kepemilikan tanah yang sah, padahal grondkaart juga dipakai di ribuan lahan pemerintah di negeri ini sebagai bukti kepemilikan yang sah. 

Banyak banghunan-bangunan dan lahan-lahan besar di ibukota Jakarta yang alas kepemilkannya adalah grondkaart. Sebut saja lapangan Monas, Istana Negara, gedung-gedung peninggalan belanda dan fasilitas umum yang sudah ada sejak era pemerintahan Koloniaal Belanda.

Dalam banyak kesempatan Andi Surya menyampaikan bahwa grondkaart adalah bukan bukti kepemilikan yang sah, apalagi yang bersangkutan menyampaikan bahwa Tuan Tanah Belanda tidak mengenal UUPA dan UUKA, seperti dikutip dalam nenemonews.com. Ini sebuah hal yang konyol, karena UUPA dan UUKA adalah produk setelah kemerdekaan, alias beda zaman. Ibaratnya dia bilang bahwa Pangeran Diponegoro tidak mengenal Joko Widodo, ya memang tidak mengenal, karena beda zaman.

Ini menjadi konyol karena Andi Surya, yang sekaligus anggota DPD menyampaikan hal tersebut ke media. Artinya, Dia tidak paham sejarah, tidak paham hukum, tetapi berpendapat soal hukum. Sangat memprihatinkan bila hal seperti ini dibiarkan. Mau tidak mau masyarakat harus diberi edukasi agar pemahaman masyarakat soal pertanahan, soal grondkaart tidak salah ilmunya.

Grondkaart adalah salah satu bukti kepemilikan tanah yang sah secara hukum, karena diakui oleh negara, di Pengadilan, di Mahkamah Agung, di Pemerintahan, di Kementerian, mereka mengakui grondkaart adalah bukti yang sah.

Jangan sampai ketidakpahaman Andi Surya menjadikan warga Lampung seperti katak dalam tempurung, yang menjadi tidak paham kebenaran diluar. Mari masyarakat berpikir dengan mengedepankan logika, hindari provokasi yang bertujuan untuk cari simpati demi suara dalam pencalegan.

Medan, 25 Agustus 2018

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun