Mohon tunggu...
ping setiadi
ping setiadi Mohon Tunggu... -

guru, penikmat seni

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Surga Ada di Telapak Kaki Anak-Anak (juga)

24 Mei 2011   01:18 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:18 202
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apa yang ingin Anda lakukan ketika di dekat Anda ada seorang anak kecil menangis meraung-raung sejadi-jadinya yang daya tangisnya maha dahsyat layaknya anak itu termasuki roh jahat? Saya ingin sekali bisa melaminating anak itu lalu akan saya gantung dia dengan gantungan daging yang biasa digunakan para penjual daging di pasar. Saya benci anak-anak. Anak-anak hanya menjadi perecok hidup orang-orang dewasa saja. Ah andai saja usaha distro dan clothingan saya masih jalan, andai saja cita-cita kecil saya untuk bisa jadi seorang pastor atau seorang arsitek bisa berjalan mulus tentu saya tidak akan menjadi diri saya yang sekarang, yang sebagian dari hidup saya, saya habiskan bersama anak-anak. Karena keadaan yang saat itu tidak memungkinkan untuk saya bisa memilih, saya ambil tawaran mengajar melukis di sebuah sanggar dari pada saya menjadi manusia tuna penghasilan. Bangun di Senin dan Rabu pagi untuk berangkat mengajar di sebuah sekolah dasar adalah hal yang menyiksa buat saya, bagaimana tidak gara-gara kesenangan saya dengan hal yang berbau bola dan futsal di hari Minggu malam hingga subuh dan Selasa malam membuat niat untuk bisa bangun pagi di hari Senin dan Rabu tersumbat sudah.

Cukup cerita derita. Pukul 7 pagi saya bersiap memasuki kelas 3. Ada kebiasaan murid saat guru memasuki kelas dan berdiri di depan kelas sebelum pelajaran di mulai murid memberikan salamnya dan saya membalas salam mereka dengan membungkuk dengan kedua telapak tangan memipih di depan dada layaknya seorang biksu memberi hormat. Anak-anak kelas 3 melihat hal itu sebagai hal yang unik. Di minggu selanjutnya saat salam akan diucapkan, beberapa anak berebut untuk bisa berdiri di depan bersama saya untuk bisa turut membungkuk seperti biksu saat teman-temannya yang lain memberikan salam. Saya rangkul kedua anak yang berada di kanan dan kiri saya, begitu juga mereka melakukan hal yang sama dengan teman di kanan dan kiri mereka. Kami melakukan hormat membungkuk layaknya band rock ternama yang usai mempertunjukkan lagu terakhirnya di panggung dan memberi salam perpisahan pada penonton.

Seorang anak kelas 4 bertanya kritis pada saya mengapa saya seorang guru tapi berambut gondrong. Ada lagi yang gara-gara saat saya menggambar di papan tulis dan gambar rajah permanen di punuk saya pun tersingkap dan terlihat oleh anak-anak, seorang anak perempuan bertanya," Pak Aping kok ditato sih, bukannya dalam alkitab tertulis bahwa tato itu merusak rumah Tuhan? (saya mengajar di salah satu sekolah yayasan Kristen) Karena Tuhan bersemayam dalam tubuh kita". Mampus abis ga tuh gua dapet pertanyaan dari anak-anak hebat nan kritis serta cerdas itu. Saya benar-benar harus memutar otak dan bertindak spontan untuk bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan tak terduga dan hal-hal tak terduga yang datang dari anak-anak. Syukurlah pelajaran tentang spontanitas banyak saya dapatkan dari seorang Komeng, Sule, dan Tukul Arwana. Akhirnya saya menemukan ide untuk bisa memberikan penjelasan yang mendidik (padahal ngeles) mereka. " Anak-anak, ingat tidak apa yang paling sering dikatakan Tukul di acaranya di TV? Don't judge book by it's cover, yang artinya guru yang keren berhak mempunyai rambut gondrong dan bertato seperti saya ( tentu ini versi jawaban imajiner saya..:p ) Orang baik atau tidak bukan ditentukan dari apa yang dia tampilkan secara fisik. Lihatlah seorang Yesus, bukankah dia berambut panjang juga seperti saya? ( ilmu ngeles paling pamungkas kalo ditanya soal rambut ). Memang sih niat idealis saya bertato dan berambut gondrong yang paling utama adalah untuk mendidik dan memberikan image baru bahwa kaum gondrong dan manusia berto itu bisa berhati mulia dan romantis pula.. Niat saya mulia kan?..:p

Suatu kali di kelas 5 ada seorang anak yang tidak membawa peralatan menggambarnya sama sekali. Secara spontan saya menggunakan kata-kata," Astafiruloh Budi (nama samaran), saya harus bagaimana untuk bisa membuat kamu bertobat mau membawa perlatan menggambarmu?".. Kevin yang duduk bersebelahan dg si Budi spontan bertanya setelah mendengar ucapan saya pada Budi," Bapak agamanya Islam ya?".. " Kevin, astafiruloh itu ungkapan berbahasa Arab, apakah kalo saya berungkap Oh my God dalam bahasa Inggris berarti hanya orang Kristen yg boleh mengatakannya? Apakah bahasa Inggris berarti bahasanya orang kristen? Tidak kan.. ( beuuuu keren kan penjelsan gw..:p ).. Dan Kevin pun mengangguk-angguk tanda setuju sambil berkata, " Si bapa teh pinter ih.." Bahagia saya yang dengan begitu bisa mendidik anak-anak tentang makna pluralisme secara empirik.

Ada lagi anak kelas 6 bernama David ( juga bukan nama sebenanrnya) yang malasnya bukan main saat mengerjakan tugas-tugas menggambar yang saya berikan. Akhirnya saya tahu dari anak-anak lain bahwa David berpacaran dengan Angel (ya samaran juga lah namanya). Maka saya duduk di sebelah bangku David sambil bertanya," Pasti gara-gara Angel kamu jadi semangt berangkat ke sekolah kan?".. David manggut-manggut malu-malu tanda setuju.. Nah sekarang dedikasikan dan persembahkan setiap tugas gambar yang saya berikan untuk Angel, anggap semua tugas gambar itu akan kamu berikan buat Angel.. Buatlah seindah mungkin dengan sepenuh hati dan sepenuh jiwamu.. Bila perlu tuliskan namanya di sudut kanan setiap gambarmu selesai.. Alhamdulilah sellanjutnya hasil gambar David membaik..

Rabu pagi pukul 9.30 saya kembali mengajar di kelas 3 yang lain, saat saya masih beberapa meter menuju pintu kelas, anak-anak kelas 3 berhamburan keluar sambil berteriak memanggil nama saya. Mereka merangkul saya, ada yang menarik tas saya, ada yang menarik kemeja saya, ada yang menarik krah belakang saya dan berteriak-teriak," Pa Aping tatoan! Pa Aping tatoan!

Bagaimana saya bisa punya keinginan melaminating mereka setelah mengalami berbagai peristiwa menyenangkan saat saya bersama mereka? Tidak perlu menunggu mati untuk bisa merasakan surga itu ternyata.. Saya bisa merasakan surga saat saya bersama mereka.. anak-anak..ya anak-anak yang pernah saya tidak sukai..:) Maka Engkong saya pun pernah berkata dengan bijak : hati-hati dengan apa yang kamu benci cu..;)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun