televisi. Bagi sebagian besar televisi, rating merupakan indikator kualitas suatu program. Seringkali, rating juga menjadi faktor utama yang menentukan "selera pasar" dalam dunia pertelevisian. Ketika rating suatu program atau acara dinilai bagus, hal tersebut menjadi anggapan bahwa program atau acara dapat berlanjut. Kabar buruknya, jika ratingnya  menurun, maka ancaman bagi keberlanjutan suatu program atau acara menjadi pil pahit yang harus ditelan secara paksa. Atas dasar hal tersebut, maka banyak dari televisi mendewakan rating yang  seakan-akan sebagai tulang punggung bagi dunia pertelevisian mereka.
Rating, kata yang sering kita dengar ketika membicarakan target suatu program dalamRating bukan hanya menjadi dewa dalam pertelevisian dalam negeri. Lebih jauh dari itu, pembahasan soal rating telah ada sejak tahun 1950, dimana Nielsen yang merupakan perusahan media, mulai melaporkan rating terhadap televisi. Untuk melakukan penelitian terhadap rating, Nielsen memilih 15.000 rumah yang dianggap sebagai perwakilan semua khalayak penonton di Amerika Serikat. Nielsen menggunakan peoplemeter atau tombol perekam tayangan untuk merekam tayangan yang ditonton oleh orang dalam setiap rumah. Hal ini juga memikiki fungsi agar orang tua atau pengasuh dapat bertanggung jawab atas tontonan anak-anak di rumahnya. Setelah tayangan tersebut direkam, maka hasil rekaman tersebut dapat dilaporkan kepada Nielsen menggunakan jalur telepon. Dari upaya tersebut  maka Nielsen sebagai Perusahaan media, dapat  menentukan program yang ditonton, durasi tonton, hingga siapa yang menonton tayangan tersebut.
Saat ini, televisi di Indonesia terjebak dalam dilema mengejar rating. Rating dianggap sebagai indikator keberhasilan suatu program dalam televisi . Hal tersebut memang sangat normal terjadi karena rating tinggi berimplikasi pada pendapatan iklan. Dampak negatif dari hal tersebut adalah kecenderungan  stasiun televisi untuk menyajikan konten yang terkadang berkualitas rendah, seperti sinetron dan acara hiburan yang kurang mendidik. Dapat dikatakan, pengukuran rating saat ini tidak mencerminkan prefensi Masyarakat secara keseluruhan, sehingga perlu adanya evaluasi dan reformasi dalam cara pengukuran ini. Dengan kemajuan  digitalisasi, apakah masih penting bagi televisi untuk mengejar rating?
Perdebatan tentang rating dan kualitas sering terjadi ketika orang berbicara tentang pentingnya rating dan kualitas. Ada beberapa orang yang mengatakan bahwa rating yang tinggi tidak selalu menunjukkan bahwa program itu baik. Ada banyak contoh serial yang mendapatkan pengakuan sangat baik meskipun serial tersebut tidak mendapatkan rating tertinggi. Hal ini menunjukan bahwa setiap orang memiliki selera dan tujuan beragam dalam memilih suatu tontonan.
Sampai saat ini, sistem rating masih menjadi suatu perdebatan yang  tidak lepas dari kritik. Seperti yang tercantum pada buku "Matinya Rating Televisi (Ilusi Sebuah Netralitas)" oleh TM. Dhani Iqbal Erica dan L. Panjaitan. Dalam buku tersebut, dijelaskan bahwa rating bukanlah sesuatu yang netral. Rating dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk monopoli usaha dan kesalahan metodologi dalam survei. Selain itu, survei kualitatif juga diperlukan untuk menilai mana saja tayangan yang berkualitas dan layak ditonton, bukan hanya bertujuan menghibur.
Dalam industri pertelevisian tanah air, beberapa stasiun televisi seperti MetroTV, TVOne, Trans7, KompasTV, dan NET TV berani mengambil jalur berbeda dari arus utama. Mereka menyajikan acara berita, talkshow, feature, atau film-film dokumenter, meskipun program ini mungkin saja memiliki rating yang rendah. Langkah ini menunjukkan bahwa, televisi tidak harus selalu mengejar rating tinggi untuk tetap relevan dan dicintai penontonnya.
Pada kenyataannya, rating televisi masih menjadi ukuran yang penting dalam industri pertelevisian, meskipun relevansinya semakin dipertanyakan. Perlu ditegaskan bahwa, rating bukanlah satu-satunya pedoman yang dapat diagung-agungkan dalam sebuah stasiun televisi. Kualitas program juga harus dipertimbangkan agar televisi tidak hanya mengandalkan kuantitas, tetapi juga kualitas.
Kabar baiknya, saat ini beberapa stasiun televisi berani mengambil jalur alternatif dengan menyajikan konten informatif  meski resikonya memiliki rating rendah,  ini membuktikan bahwa, televisi tidak  selalu  bertujuan mengejar angka tinggi, tetapi berusaha untuk tetap relevan dan mendidik. Dengan tidak mendewakan rating, besar harapan keberhasilan di masa depan mungkin akan lebih bergantung pada kemampuan untuk berinovasi dan memahami kebutuhan audiens yang terus berubah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H