Senja. Semua orang menunggu. Walau hanya untuk sekedar menyandarkan punggung yang melengkung dan sejenak mengatupkan kelopak mata yang tak sampai lelap setelah seharian banting tulang demi menyambung hidup. Senja selalu hadir saat piringan matahari hilang dari cakrawala. Dia membawa ketenangan dan keteduhan. Dia pula yang mengajarkan bahwa tidak semua dapat dikatakan dengan kata. Tidak pula didengarkan dengan telinga, tapi melalui hati. Walaupun itu hanya sejenak. Karena setelah terucap dan terdengar kata dua kali salam, aktifitas pagi dengan segala kerumitannya akan segera berjalan kembali.
Seperti biasa setiap pagi jalan utama di gang Gempol dipenuhi puluhan manusia yang memiliki hasrat berbeda-beda. Ada yang melewati gang ini untuk pergi ke pasar, berjalan menuju sungai untuk buang hajat ataupun mencuci, ada pula yang sekedar berolahraga pagi. Tapi apapun yang mereka lakukan bukan urusanku, karena sekarang aku hanya ingin berjalan menuju ujung gang untuk belanja sesuai dengan pesanan emak.
"Amira mau ke mana?" Tanya bude Inem sambil memeras baju yang baru dicucinya.
"Mau belaja di Mbak Tun Bude. Ini saya disuruh emak untuk beli cabai dan tomat. Katanya, emak mau buat brengkes ikan laut." Jawab Amira sambil terus berjalan pelan.
Inilah kebiasaan warga yang berada di lingkungan gang Gempol. Salah satu gang yang berada di desa Ngadirenggo. Mereka sangat ramah dan saling mengenal bak satu keluarga.
"Wah mantap sarapan pakai brengkes ikan laut Nduk, apalagi ditambah dengan lalap mentimun, jadi tambah jos gandos." Lanjut bude Inem.
Setiap langkah menuju ujung gang kulalui dengan semangat tinggi. Karena, selain memang suasana mendukung di pagi itu, juga karena saya suka sekali dengan brengkes ikan laut yang akan memanjakan lidahku di pagi ini.
Namun, tak kusangka ada sesuatu yang mengganggu penglihatanku. Kedua mataku tiba-tiba tertuju pada seseorang yang sedang sibuk dengan hp miliknya sambil berolahraga. Dia adalah teman dekat sejak sekolah dasar, menengah pertama, hingga sekarang menengah atas. Kami terus dipertemukan dalam satu sekolah.
Wajah tampan yang terpancar selalu membuatku sedih, mengingatkan pada usahaku yang sia-sia saat mencoba mendekatinya. Hati kecilnya selalu ingin kutembus. Tapi, aku tak pernah tahu benteng apa yang mengelilinginya hingga sulit kulewati.
Detik itu, tak peduli apa yang akan terjadi nanti. Tekadku sudah bulat. Di tengah percikan sinar mentari yang mulai semburat mendekap bumi, aku akan mulai mendekatinya kembali dengan cara apapun juga. Menyukai seseorang bukanlah kesalahan dan mendapatkan balasan atau tidak itu bukanlah aib yang harus aku takutkan.
Sambil jalan pagi, ia terlihat ngobrol santai bersama temannya walaupun sesekali tetap melihat hp yang tak pernah jauh darinya. Aku mencoba mendekatinya. Jantungku berdetak dengan kencang. Jujur, aku merasa pagi ini urat maluku benar-benar sudah putus.
"Sakti, lagi santai?" Kuberanikan untuk menyapa terlebih dahulu.
Perlahan teman bicara Sakti menjauh darinya, memberikan kesempatan padaku untuk berdua dengannya. Dia paham, jika sudah lama aku mencoba untuk terus mendekatinya.
"Iya Mir, ini lagi santai. Mumpung belum ada tugas dari Ayah Pagi ini." Jawab Sakti dengan gayanya yang dingin.
Obrolan kami terus berlanjut sambil berjalan pelan menyusuri gang Gempol yang mungkin akan menjadi saksi yang tak terlupakan.
Saat kurasa kami sudah berada di zona nyaman, niatku untuk mencoba memegang tangannya mulai muncul. Takut, gemetar, dan dada seperti mau meledak bersatu padu mengganggu hasrat yang sudah mulai memuncak. Dengan kekuatan yang ada, kupaksakan tanganku bergerak menggapai tangannya.
Namun nahasnya, dewi fortuna tak berada di pihakku. Tangannya tidak tergapai. Karena tiba-tiba dia pergi berlari menuju suara yang memanggilnya dari ujung sana. Tapi, ada hal yang membuatku terkejut dan terharu. Dari belakang, tak terasa ada orang lain yang telah menggapai tanganku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H