Mohon tunggu...
Pindi Setiawan
Pindi Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Dosen FSRD ITB

Sibuklah mencipta ketika orang lain sibuk meniru

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Budaya Merdeka

20 Februari 2020   18:37 Diperbarui: 20 Februari 2020   19:05 271
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perspektif Hikmat memang sangat bernuansa ide-ide Pemajuan Kebudayaan, yaitu budaya berkembang seperti apa adanya saja (pada tulisan Hikmat disebut 'strategi bottom up'). Itu benar, biarkan budaya berkembang sesuai pilihan jaman dan masyarakat pendukungnya. Namun, sayangnya kemudian pemerintah dalam latar Pembinaan mengajukan Indeks Pemajuan Kebudayaan yang nuansanya top-down. Bagaimana mungkin kebudayaan pilihan sendiri kemudian di-indeks-kan secara nasional. Ini sama dengan mengadirkan kembali 'konsep' pendewaan.

Radhar dan Hikmat jelas membahas dua fenomena kebudayaan yang berbeda. Saya memang tidak setuju dengan kesekaratan budaya yang diajukan Radhar, namun Radhar sejatinya ingin bicara modal budaya yang Nusantara banget (adiluhung masa lalu), kebudayaan yang mempunyai ciri khas dan berakar ke modal sendiri. 

Hikmat tidak bicara pada pelestarian budaya adiluhung masa lalu, namun bicara pada pragmatisme budaya yang sedang hadir sekarang.  Saya disini tidak setuju pada pendapat Hikmat yang seperti 'alergi' pada narasi pelestarian.  

Sebagai catatan, baik tuan Radhar, tuan Hikmat maupun tuan Pemajuan Kebudayaan masih malu malu dalam menyentuh fenomena pertama, yaitu melestarikan wujud budaya masa lalu, tanpa (merasa) perlu menghadirkan idea dan tindakan budayanya. Apalagi fenomena pertama ini sudah terundang undangkan sebelum UU Pemajuan Kebudayaan (2017), yaitu Undang undang Cagar Budaya (2010) dan Undang undang Hak Cipta (2014) khususnya pasal Ekspresi Budaya Tradisional dan Ciptaan. 

Pada kedua undang-undang 'lama' itu, topik utamanya adalah melestarikan budaya. Artinya, sebenarnya tidak ada salahnya bicara pemajuan budaya seperti Hikmat, sekaligus juga bicara pelestarian budaya seperti Radhar. Toh kedua perspektif itu sama sama sudah terundang-undang kan di Indonesia.

Oleh karena itu, para akademisi budaya seperti teman teman di Perguruan Tinggi, perlu menatap semua lini, memahami semua perspektif. Tetap merdeka pikirannya, tetap terbuka pada pemikiran apapun dan terhadap pemikiran siapapun. Jangan sampai terkotak-kotak, tidak perlu harus memihak pemerintahan yang 'sedang' berkuasa atau yang 'sedang' populer. 

Akademisi tetap dituntut berfikir merdeka dan mengakar, sehingga keilmuan berkembang dari modal akar yang kuat (ber ciri khas) dan menghasilkan kehidupan yang merdeka (inovatif). Kebudayaan itu bisa dari masa lalu, masa kini atau masa depan, alias Atita, Nagata dan Wartamana. 

Di Merdeka kan saja pilihan pilihan pemikiran budaya itu.

Semoga Akademisi tetap me-Merdeka-kan diri dalam berfikir..., dan jadi matahari kebudayaan yang menerangi semua yang gelap

Hidup Budaya Merdeka..!!!

PindiS

Akademisi FSRD ITB

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun