Mohon tunggu...
Pimpinan Pusat Ippnu
Pimpinan Pusat Ippnu Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

belajar berjuang bertakwa

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Merdeka

25 Februari 2013   04:15 Diperbarui: 24 Juni 2015   17:44 53
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh Nurul Farida Wajdi (Univ Negeri Jogjakarta) (NOMINASI 10 TERBAIK LOMBA MENGARANG CERPEN PP IPPNU 2012)

Pagi-pagi kukayuh sepeda usangku menuju madrasah tercinta. Pagi ini aku sengaja lebih awal berangkat, karena akan ada yang berbeda nantinya. Karena itulah setiap kayuhan seirama dengan debar jantungku

Ketika sampai di madrasah, kulihat bapak kepala madrasah tersenyum menawan menyambut kedatanganku. Akupun turun dari sepeda, bersalaman dengannya.

“Bagaimana Ifa, kamu sudah siap nanti?” tanyanya.

“Hehe, insyaAllah, Bapak. Mohon doanya saja, semoga Allah memudahkan,” jawabku dengan malu dan gemetar sembari menopang sepeda.

“Insyaallah, Nduk. Amin…,” balasnya.

“Kalau begitu, saya permisi dulu Pak, mau memarkir sepeda, dan bersiap-siap untuk acara nanti,” pintaku dengan menundukkan kepala.

“Oh, iya Nak, monggo.

Akupun berjalan melalui sela-sela gedung dengan menuntun sepeda. Sesekali teman-temanku menanyakan dari balik jendela kelas.

“Hey.. Ifa.... bagaimana kamu, sudah siap?”

“Iya Ifa, kita dukung deh nanti, semangat ya!” seru Adnan dan Syitayang sedang piket di dalam kelas.

“Iya. InsyaAllah, kawan, doakan aku ya, biar nggak gemeteran. Belum sarapan nih, hehe,” jawabku dengan senyum cemas.

Usai memarkir sepeda, aku tak langsung ke ruang kelas, melainkan berdiam di musholla madrasah, untuk sekedar mendinginkan dan menenangkan hati serta pikiran yang terlanjur tegang.

Tak lama, Pak Hasan, guru pembina OSIS menghampiriku dan memanggilku.

“Haifa...., ayo, segera ke lapangan, apel pagi segera dimulai, anak-anak sudah banyak yang kumpul!” pintanya.

Inggih Pak, saya segera ke lapangan,” jawabku.

“Sudah siap nanti?” tanya Pak Hasan.

“InsyaAllah, Pak, doanya saja, hehe. Meski sedikit gemetar juga,” jawabku sembari mengenakan sepatu dan segera bangkit,kemudian berjalan bersama Pak Hasan menuju lapangan madrasah.

Kulihat siswa sudah berbaris rapi. Aku masuk di barisan yang tak biasanya. Aku berdiri diantara empat orang, di bagian depan lapangan. Kulihat wajah-wajah menatap kami yang berada di depan. Ternyata tak hanya aku yang gemetar, teman-teman yang berjajar disebelahku, semua merasakan hal yang sama, terbukti wajah mereka selalu menunduk dan berkali-kali menggerakkan tangan.

Apel telah dimulai, kini saatnya bapak kepala madrasah memberikan sambutannya.

“Anak-anak yang bapak cintai, pagi ini kita akan menyimak orasi calon pemimpin kalian di sekolah ini, calon-calon ketua OSIS yang nantinya akan kalian pilih dan menjadi pemimpin kalian. Untuk itu, bapak harapkan nanti disimak dengan baik dan pilihlah yang memang pantas untuk kalian jadikan pemimpin.

Pak Hasan, pembawa acara di apel pagi itu berkata.

“Baiklah, untuk acara yang selanjutnya adalah orasi dari keempat calon OSIS di madrasah kita tercinta ini.Orasi pertama,dipersilakan kepada Haifa Nur Sholihah. Cukup lima sampai sepuluh menit.

Aku menunduk dan melangkah menuju podium.

Kudengar sambutan tepuk tangan begitu meriah saat aku langkahkan kaki.Gemetar ini seolah hilang, yang ada malah semangat. Sesekali kudengar namaku dipanggil-panggil teman-teman sekelas.

“Assalamu’alaikum, warohmatullahi wabarokatuh...,” sapaku kepada seluruh keluarga besar madrasah yang berada di lapangan pagi itu.

“Wa’alaikum salam warohmatullahi wabarokaatuh,” jawab mereka kompak.

Ketika muqodimah, suasana menjadi hening. Mereka tampaknya menikmati orasiku yang kubawakan dengan tenang dan santai. Sesekali kulihat wajah bapak kepala madrasah dan Pak Hasan beserta beberapa guru yang tersenyum.

“Siapapun nanti yang menjadi ketua, kita semua tetaplah saudara, jangan ada permusuhan dan sebagainya. Kalau saya jadi ketua, tegurlah kelak bila melakukan salah, dan mari berjuang bersama tanpa ada rasa beda diantara kita, baik ketua maupun anggota. Jangan ada rasa sungkan atau apapun, karena kita adalah sama, sama-sama membangun madrasah kita tercinta untuk sentiasa menjadi idola masyarakat di sini dan tentunya mengunggulkan siswa-siswi di madrasah ini dengan kegiatan yang dibingkai oleh OSIS tentunya. Mungkin cukup sekian orasi dari saya, mohon maaf apabila ada salah dan sikap yang kurang berkenan di hati semua. Akhirul kalam, Wassalamu’alaikum warohmatullahi wabarokatuh.

“Wa’alaikumsalam warohmatullahi wabarokatuh,” jawab pendengar diiring tepuk tangan meriah.

“Merdeka!” tiba-tiba kuserukan kata itu sembari mengepalkan tangan sejajar kepala di hadapan teman-teman sebelum kutinggalkan podium.

“Merdekaaa...!” gegap gempita mereka menyambut teriakanku.

Teman-teman yang juga calon ketua OSIS pun memberikan tepuk tangan seraya tersenyum. Kemudian aku kembali di barisan bersama teman-teman calon ketua OSIS yang hendak berorasi.

Aku menyimak orasi calon lain. Bagus, dan mendapat sambutan istimewa juga dari teman-teman. Semua saling menyemangati dan tidak ada saling ejek diantara kami.

Apel pagi selesai. Semua kembali ke kelasmasing-masing untuk melanjutkan kegiatan belajar mengajar sesuai jadwal.

“Fa, Haifa...,” seru salah satu temanku dari gerombolan yang akan segera masuk kelas.

“Iya, dalem,“ jawabku.

“Eeh, tadi seru tahu orasi kamu. Apalagi pas akhir kamu mau turun podium tadi, Merdeka...!’Wuih, keren, Fa. Serius deh.

“Iya Fa, keren deh,” cetus Syita dan Anis yang berjalan berdampingan denganku saat menuju kelas.

“Ah, kalian ini, berlebihan, tapi tadi ngrasa aneh juga sih.

Lho, aneh kenapa, Fa?” tanya Anis.

Kok tadi aku bilang merdeka gitu ya, hehe, nggak sadar rasanya,” jawabku tertawa malu.

“Justru itu yang membuat berkesan Fa. Coba aja lihat efeknya nanti. Lagian juga ini kan orasinya bertepatan dibulan Agustus, Indonesia merdeka, ya nggak, Nis?” sela Syita yang juga bertanya kepada Anis.

“Iya Fa, masak lupa ini bulan Agustus. Pas banget tuh. Pasti akan sangat berkesan,” jawab Anis.

“Hehe, iya juga ya. Ini kan bulan Agustus. Ah, masak iya berkesan?” tanyaku kepada Anis dan Syita.

“Hemmmm, nggak percaya dia. Lihat aja nanti efeknya apa,” jawab Syita.

“Ah, sudahlah, yang penting sekarang kita masuk kelas dulu,ajakku.

Tak lama, pelajaran di semua kelas telah dimulai, kecuali satu kelas yang tampak gaduh sekali. Sesekali terdengar suara siswa putra yang meneriakkan sesuatu.

“Merdeka...!” kata seorang siswa laki-laki yang tidak aku ketahui siapa namanya.

“Merdeka…!“ jawab teman-teman lain serentak.

Aku, Syita dan Anis hanya tersenyum. Namun sepertinya Syita dan Anis berbisik sesuatu. Aku tak mendengarnya. Kulihat Pak Hasan yang kebetulan sedang mengajar di kelasku juga ikut tersenyum mendengar sorak-sorak dari siswa di kelas sebelah yang begitu gaduh.

“Heran deh, kok ya ndak ditegur toh. Anak-anak ramai begitu. Biasanya Pak Hasan kan paling risih dengan keramaian begitu. Tapi ya sudahlah, sepertinya tidak ada yang merasa terganggu,batinku sambil tersenyum.

***

Hari berganti hari, pemilihan ketua OSIS belangsung, semua calon ketua disatukan dalam ruangan, tepatnya ruangan OSIS untuk menunggu hasil penghitungan suara. Waktu terus berjalan, dan nampaknya berjalan dengan begitu tenangnya pemilihan ketua OSIS kali ini.

Waktu telah menunjukkan pukul 12.00 siang, saatnya istirahat dan sholat dzuhur untuk kemudian menghitung suara dan diketahui siapa ketua OSIS nantinya.

“Ifa...” Panggil Syita dan Anis padaku di luar ruangan OSIS.

“Iya... ada apa?” tanyaku.

“Sholat dulu yuk, di musholla” iya.. bentar,tak ambil mukena dulu di tas.

“oke...” jawab Syita dan Anis.

Kami bertigapun segera menuju musholla, sesekali ada adik kelas yang menyapaku saat berjalan menuju musholla.

“Mbak Haifa....” sapa salah seorang adik kelas perempuan yang belum kutahu namanya.

“Inggih dalem...” jawabku dengan senyum.

“Eh, Fa, belum-belum udah banyak yang jadi penggemar, hihi” celoteh Syita.

“Ah, kau ini Ta, ada-ada aja deh” jawabku.

***

Usai sholat dzuhur, Syita dan Anis kembali ke kelas, dan aku kembali ke ruang OSIS untuk menyaksikan penghitungan suara. Saat aku masuk, tenyata penghitungan suara sudah mulai. Aku melanjutkan menyimak teman-teman yang sedang menghitung suara.

Tak lama, hasilnya telah diketahui, dan akan diumumkan saat apel siang nanti sebelum sekolahan dibubarkan.

“teeeet teeeet teeeeeeeeeetttt” suara bel pertanda sekolah telah usai untuk hari ini, dan terdengar suara Pak hasan dari speaker untuk menghimbau anak-anak jangan pulang terlebih dahulu dikarenakan akan ada apel siang untuk mengumumkan siapa ketua OSIS yang baru.

Tak lama, hasil diumumkan oleh Pak Hasan dalam sambutanya di apel siang itu.

“Anak-anak yang bapak sayangi, siang ini bapak akan mengumumkan hasil pemilu ketua OSIS yang telak dilaksanakan tadi pagi. Untuk ketua OSIS kita yang baru yang akan berkhidmah selama satu tahun ke depan adalah Haifa Nur Sholihah”

Serentak, teman-teman satu kelasku berteriak kegirangan, aku hanya bisa menundukkan kepala dan diam.

“Horreeeee, Ifa... Ifa... Ifa...” sorak teman-teman satu kelasku dan banyak tepuk tangan dari yang lainnya. Guru-guru langsung menyalamiku dan sesekali mereka memberiku semangat juga nasehat.

“Ya Allah, aku harus bahagia atau bagaimana entah, masih belum bisa memahami rasa ini. Ini adalah amanah yang harus kuemban selama masa khidmahku setahun ke depan nantinya, semoga kau kuatkan Gusti dengan segala kelemahanku sebagai wanita” doaku yang mengiringi saat teman-teman dan guru menyalamiku dan memberi ucapan selamat padaku.

***

Satu semester telah berjalan, aku masih sebagai ketua OSIS di Madrasahku. Namun kala itu, aku merasa penasaran dengan kakak kelasku yang selalu membantu siswa berkebutuhan khusus di madrasah ini. Selama ini aku yang sibuk dengan OSIS mencoba menyempatkan untuk bersua dengan Mbak Nurul.

Yang kutahu Mbak Nurul ini kemana-mana selalu bersama mbak-mbak yang tuna netra. Ya, karena madrasah kami memang menerima siswa berkebutuhan khusus, karena memang madrasah kami adalah madrasah inklusi. Mereka ada yang tuna netra dan tuna daksa.

“Mbak Nurul....” panggilku kepada Mbak Nurul yang sedang menggandeng mbak-mbak tuna netra yang mau ke ruang khusus inklusi, biasanya untuk belajar.

“Iya dek... ada apa?” jawab Mbak Nurul.

“Ifa mau ikut mbak boleh ya, belajar bareng sama mbaknya ini” pintaku pada Mbak Nurul.

“Iya, boleh....” jawab mbaknya yang tuna netra yang belum kutahu namanya.

“Oh ya, mbak namanya siapa?” tanyaku pada mbak yang tuna netra.

“Namaku Dina, kamu Ifa nur itu kan...?” kata Mbak Dina.

“Hee, iya mbak... kok tahu?” jawabku sambil bingung dengan menyalami tangannya. Ya, bagaimana aku tak bingung, kenal saja baru ini, tapi mbak Dina sudah tahu namaku.

“iya... kamu kan yang dulu ikut orasi calon ketua OSIS itu to? Sangat berkesan merdekamu dek” jawab mbak Dina dengan fasihnya.

“Ooohh, iya mbak, tapi itu kan sudah lama sekali? Aku malah hampir lupa dengan orasi itu, mbak masih inget, dan ingat namaku juga” jawabku heran.

“iya...” jawab Mbak Dina dan kulihat ada senyum di wajahnya yang memang nampak berbeda dengan yang lainnya.

“Ya Allah, ternyata ingatan mereka begitu kuat sekali, hanya mendengar suaraku dari speaker masih bisa mengenaliku sampai sekarang, padahal hanya sekali itu mbak Dina mendengar suaraku, dan baru kali ini aku berbicara langsung kepada mbak Dina. Sungguh, ini rasa adilmu untuk mereka.” Batinku terkagum-kagum dan berjalan menggandeng mbak Dina untuk memasuki ruang inklusi. Kini semakin aku mengerti, arti hidup ini, meski secara fisik mereka tak merdeka, namun hati dan fikiranya begitu merdeka, semangat belajar mereka begitu tinggi. Semoga Allah senantiasa menjaga orang-orang seperti mbak Dina.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun