Perkembangan jurnalisme multimedia di Indonesia merasakan pasang-surut sejak awal kemunculannya. Namun, dengan teknologi yang semakin canggih, kini jurnalisme multimedia di Indonesia justru semakin berkembang dan juga diakses oleh banyak orang.
Jurnalisme berdasarkan definisinya merupakan suatu pekerjaan mengumpulkan, menulis, mengedit, menerbitkan berita dalam surat kabar, dan sebagainya. Sedangkan multimedia bisa diartikan sebagai penggabungan teks, suara, gambar, animasi, audio, maupun video menjadi satu.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa jurnalisme multimedia adalah suatu kegiatan mengumpulkan, menulis, mengedit, dan menerbitkan berita dengan menggunakan penggabungan teks, suara, gambar, animasi, audio, maupun video secara daring melalui internet.
Jurnalisme multimedia di Indonesia melalui sejarah yang panjang hingga mencapai titik seperti sekarang ini. Dahulu, jurnalisme hanya melalui surat kabar seperti koran atau majalah yang hanya bisa di-update satu hari sekali, namun sekarang dengan teknologi yang semakin berkembang, informasi dapat ditemukan di mana saja dan kapan saja.
Awal Jurnalisme di Indonesia
Sebelum beralih ke jurnalisme multimedia, seperti yang sudah disampaikan sebelumnya Indonesia terlebih dahulu mengenal jurnalisme melalui surat kabar.
Jan Pieterzoon Coen lah yang pertama kali menerbitkan Memories Der Nouvelles, sebuah karya jurnalisme pertama di Indonesia berbentuk surat kabar yang ditulis tangan pada tahun 1619.
Barulah pada tahun 1688, Indonesia memiliki mesin cetak pertama yang didatangkan dari Belanda, dengan adanya mesin cetak ini, semakin memudahkan Indonesia dalam memproduksi lebih banyak lagi karya-karya jurnalisme berbentuk surat kabar.
Pada masa penjajahan Belanda dan Jepang, surat kabar banyak digunakan sebagai propaganda agar masyarakat Indonesia tidak melawan terhadap mereka. Namun di masa orde lama, jurnalisme di surat kabar justru digunakan sebagai bentuk perlawanan kepada pemerintahan pada saat itu.
Hal tersebut berlanjut di masa orde baru, meskipun kebebasan pers lebih terjamin pada saat itu, namun setiap informasi yang dianggap kontra terhadap pemerintahan orde baru akan dihentikan sehingga masyarakat tidak bisa mengemukakan kritiknya kepada pemerintah pada saat itu.
Barulah pada masa pemerintahan BJ Habibie tercipta Undang-Undang Pers yang menjamin kebebasan pers dalam menyebarkan informasi selama informasi tersebut benar. Dengan adanya Undang-Undang Pers serta teknologi yang semakin berkembang, maka dua hal tersebut menjadi tonggak awal jurnalisme multimedia muncul di Indonesia.
Jurnalisme Multimedia di Indonesia
Sebenarnya, jauh sebelum Undang-Undang Pers disahkan, jurnalisme multimedia sudah muncul di Indonesia, diawali oleh media Republika Online yang terbit pada tanggal 17 Agustus 1955, kemudian disusul oleh terbitnya Kompas Online pada 14 September 1955, baru lahirlah Tempointeraktif atau Tempo.com, setahun setelahnya.
Di awal kemunculannya, media-media tersebut hanya memindahkan informasi yang ada di media cetak ke media daring atau biasa disebut pavlik, yang berarti memindahkan berita dari koran ke internet.
Dengan semakin berkembangnya internet yang juga makin banyak dikenal orang, khususnya masyarakat Indonesia, media-media di Indonesia pun semakin melebarkan sayapnya untuk memiliki media secara online sehingga informasi-informasi yang diberikan juga bisa diterima oleh lebih banyak orang.
Detik.com yang rilis pertama kali pada 9 Juli 1998 dianggap menjadi pelopor media online di Indonesia karena berdiri secara otonom, atau tanpa terlebih dahulu menyebarkan informasinya melalui media cetak.
Kini, perkembangan teknologi yang semakin pesat pun membuat banyak media yang meninggalkan media cetak dan memilih fokus untuk membesarkan media daring mereka seperti Tabloid Bola, namun tidak sedikit juga media-media yang masih mencetak beritanya  meskipun sudah memiliki media daring seperti Kompas dan Jawa Pos.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H