Pop Korea atau yang lebih dikenal dengan K-Pop merupakan genre musik yang sangat digemari oleh banyak anak muda, khususnya di Indonesia saat ini. Pop Korea sendiri biasanya memiliki formula khusus untuk menarik minat anak muda, yaitu dengan suara, tarian, maupun visual yang menarik. Hal inilah yang menjadikan banyak anak muda menggilai grup-grup pop dari Korea.
Beberapa grup Korea yang begitu terkenal di Indonesia seperti Blackpink, BTS, ITZY, maupun EXO mendapatkan atensi yang sangat besar karena ketenaran mereka.Â
Fans grup-grup tersebut, atau biasa disebut K-Popers biasanya tidak akan sungkan untuk merogoh kocek yang tidak kecil nominalnya untuk membeli merchandise resmi seperti album, lightstick, dan sebagainya.
Sekarang kita bandingkan dengan musik-musik lawas, biasanya kita menyebut dengan tembang nostalgia. Disebut tembang nostalgia bukan tanpa alasan, karena biasanya setiap kita mendengar lagu-lagu lawas tersebut, suasananya akan langsung membawa kita ke masa lalu.
Lagu-lagu dari musisi lawas seperti Ebiet G. Ade, Broery Marantika, masih seringkali terdengar di telinga kita. Lagunya yang tak lekang oleh waktu seakan memiliki magisnya sendiri setiap kali diputar.
Meskipun begitu, saat ini tidak terlalu banyak yang berminat untuk mendengarkan lagu lawas, mungkin hanya satu dua kali saja, dan tidak menjadi kebiasaan yang dilakukan terus menerus. Jika dibandingkan dengan Pop Korea, tentu perbandingan peminatnya saat ini akan cukup jauh.
Budaya Populer
Menurut Storey (2015:5), budaya populer adalah budaya sederhana yang dikenal dan disukai oleh banyak orang. Jadi, apabila suatu budaya tertentu disukai oleh banyak orang di wilayah tertentu, maka budaya tersebut otomatis menjadi budaya populer.
Beberapa budaya populer yang ada di Indonesia yaitu olahraga sepakbola, hedonisme, pop korea, dan masih banyak lagi. Contoh-contoh tersebut bisa disebut sebagai budaya populer karena memang kebanyakan masyarakat Indonesia menyukainya.
Dalam hal ini, pop Korea merupakan budaya yang dikenal dan disukai banyak orang. Lagu-lagunya yang ear catching yang disertai dengan tarian dan visual menarik membuat pop Korea banyak digemari.
Sebagai budaya populer, tentunya pop Korea merupakan tolok ukur bagi industri musik di Indonesia untuk meningkatkan kembali kualitas mereka sehingga tidak kalah saing.
Menurut Ryan (2010), subkultur adalah cara masyarakat memandang budaya yang ada dengan sudut pandang berbeda. Jadi, bagaimana pandangan masyarakat melihat suatu budaya dengan cara yang berbeda ini bisa disebut sebagai subkultur karena merupakan "minoritas" di antara "mayoritas" penganut budaya populer.
Peran subkultur juga bisa bergantung dari lokasi atau wilayah dari budaya tersebut. Misalnya olahraga rugby, jika dibandingkan dengan sepakbola, tentunya rugby merupakan olahraga yang jarang sekali diminati oleh masyarakat Indonesia. Berbanding terbalik dengan Amerika Serikat, di sana, olahraga rugby merupakan budaya populer karena banyak warga Amerika Serikat yang menyukainya.
Dalam hal ini, musik lawas merupakan subkultur karena menjadi opsi lain bagi orang-orang yang tidak terlalu menyukai pop Korea. Dengan nada yang lebih santai dan bahasa yang lebih mudah dimengerti, tentunya akan memberikan nuansa berbeda tetapi tetap ear catching di telinga masyarakat Indonesia.
Politik identitas adalah bentuk perlawanan terhadap sesuatu yang dominan. Ryan (2010:88) mengemukakan bahwa sesuatu yang mainstream menjadi pemicu munculnya subkultur. Apabila dihubungkan dengan pop Korea dan musik lawas, maka musik lawas merupakan bentuk perlawanan terhadap dominannya pop korea.Â
Musik lawas menjadi gambaran bahwa untuk menikmati musik tidak harus dengan musik yang keras dengan beragam dance di atas panggung, tetapi bisa dengan musik-musik yang santai dan memberikan nuansa nostalgia. Buktinya, lagu lawas seperti 'kemesraan', 'kangen', 'bintang kehidupan', dan banyak lagi masih sering diputar, baik itu di acara-acara besar maupun untuk bersantai di rumah.
Sumber
Ryan, M. (2010). Cultural Studies: A Practical Introduction. UK: Wiley-Blackwell.Â
Storey, J. (2015). An Introduction: Cultural Theory and Popular Culture (7th ed.). Routledge: New York.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H