Hari ini aku sedang ingin nakal,tapi bukan nakal yang dangkal.
Apa akal?
Begini,hari ini aku ingin jadi seorang peniru.
Oh, begitu?
Ya, karena sebelumnya aku adalah seorang yang banal,
Tak perlu heran, jika kini aku ingin mengimitasi kata seorang yang ultra-fasih.
Tapi, usahlah kau menera karyaku sebagai laku plagiat.
Hanya hal ihwal seorang insan yang tengah berhasrat giat.
Sekejap kala kita tak mampu membingkai waktu
didera kepenatan memandang jiwa-jiwa animal spiritÂ
kini aku ingin tak ada batas bagi gelombang pikiran
selama masih dalam tatanan mulia
menggubris banyak informasi
namun apa selanjutnya?
Memilin pertalian ilusiku sendiri
antara satu keterbatasan melawan ketakberhinggaan.
Aku jadi pintar karena aku rajin meniru
aku berbicara seperti itu sebab sebelumnya aku mendengarkan yang seperti ituÂ
die Sprache sprichtÂ
kekuasaan bahasa didalam merajai sesuatunya.
Atas nama permufakatan ego-ku
kemurkaan yang melemah
keelokan yang diungkapÂ
keindahan hidup yang menyentuh hati
aku mendamba seorang tauladan
representasi dunia
melonggarkan inskripsi yang immutable(tak bisa diubah) dan immobile (tak bergerak)
mereduksi polusi nan nista
menyingkirkan suara nurani tak murni.
Katakan, hidup ini adalah samudera pencarian diri
maka kemutlakan mana yang lebih mengungguli: kepastian atau ketidakpastian?
Sekian.
Sejenak, aku pun merasa baru saja memerankan seekor beo.
Kini lidah burung Jacob telah terkelupas,
tinggallah lidah asliku yang kelu kelelahan.
Catatan:Â
banal = biasa-biasa saja; ordinary
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H