Mohon tunggu...
Melati
Melati Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Problematika Krusial: Toilet yang Memadai

27 Desember 2017   11:14 Diperbarui: 27 Desember 2017   11:19 438
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Terkait dengan fungsinya, kepemilikan sekaligus penggunaan toilet yang memadai, menjadi sesuatu yang absolut. 

Ruangan bernama toilet ini menjadi kebutuhan manusiawi  yang terdepan; walau awal-awalnya sih (baca: tradisional) manusia menempatkan 'kamar kecil' ini sebagai 'bilik (termenung)' yang letaknya di belakang rumah.

Keberadaannya sudah seharusnya memenuhi standar, berdasarkan sudut pandang estetika maupun kesehatan. 

Hal inilah yang lazimnya menjadi problem bagi kita, kala kita diharuskan berada di luar rumah, misalnya ketika dalam perjalanan, rekreasi, ataupun ketika berkunjung di suatu tempat. Tentu yang kita cari dan tidak malu-malu kita tanyakan ketika sampai di tempat tujuan adalah toilet, akibat kebutuhan mendesak - terutama setelah beberapa jam yang lalu kita makan atau minum.

Pada umumnya, kita di Indonesia mengalami sedikit ganjalan tentang toilet ini karena tidak selalu menemukan toilet yang bersih.

Adapun kabar gembiranya adalah bahwa sekarang-sekarang ini, Pemerintah cukup concern - memberikan perhatian lebih - sehingga mewajibkan para pelaku industri pariwisata untuk menyediakan sarana/ prasarana toilet yang higienis dan rapi.

Bagaimana di Negara Lain?

Ambil contoh di negara India, yang berpenduduk terbesar setelah China. Di daerah kantong-kantong kemiskinan di sana, masalah kakus ini cukup mencuat. Walau juga belum terpecahkan secara menyeluruh.

Walaupun sebenarnya, 'sanitation awareness' telah dicanangkan cukup lama.

Di negara tersebut, aktifitas 'poo'alias buang air besar (BAB) masih kerap dilakukan di alam terbuka. Tak sedikit kasus orang (pria) yang digigit ular cobra ketika dini hari nan gelap harus poo di semak-semak jauh dari kediamannya. Pun bagi kaum wanitanya, mereka banyak yang terpaksa terbirit-birit ketika sedang poodan ada orang mendekat. Sedangkan para anak kecilnya, banyak yang terlambat sekolah di pagi hari karena harus mencari tempat poodi lokasi yang cukup jauh. Lebih menyedihkan lagi adalah jamaknya bayi dan kanak-kanak terpapar oleh jenis -jenis penyakit yang ditimbulkan oleh feses yang tidak pada tempatnya, dan pada gilirannya mengundang vektor pembawa penyakit.

Seberapa jauh mereka harus jalan mencari tempat Buang Air Besar (BAB)?

Masyarakat India telah amat memahami masalah klasik nan vital ini. Dalam salah satu kitab 'Purana' ada bagian bahasan, yang telah mengatur letak lokasi BAB ini, yakni dengan cara: satu orang dewasa dipersilakan memanah dari batas pintu terdepan rumahnya. Nah, di tempat jatuhnya anak panah tersebut akan ditetapkan sebagai benchmark / standardisasi lokasi terdekat (jarak ter-minimum) dari tempat jongkok, eh.. maksudnya tempat melaksanakan hajat besar anggota keluarga dari rumah tersebut.

Demikianlah. Maka tak terelakkan, urgensi masalah physical taboo tersebut. Sudah waktunya untuk  melaksanakan aksi dalam skala global. 

Buktinya, terbentuk atensi dunia yang mewadahi permasalahan ini dengan program-program, seperti 'Open Defecation Free'. Melalui wadah-wadah institusi global, pihak swasta dipersilakan masuk berpartispasi, jika mereka memang memiliki konsep pengembangan atau pembangunan WC yang murah dan mudah untuk dibangun.

[NH}

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun