Mohon tunggu...
Pike ReghiEfrilia
Pike ReghiEfrilia Mohon Tunggu... Administrasi - Mahasiswa Ilmu Administrasi Negara, Universitas Lampung

Mahasiswa Ilmu Administrasi Negara yang tertarik pada isu-isu administrasi publik.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Ternyata Flexing Menjadi Penyimpangan Etika Administrasi Publik?

18 April 2023   12:01 Diperbarui: 18 April 2023   12:12 829
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
flexing terkait insecurity

Beberapa waktu terakhir publik diramaikan dengan adanya pemberitaan terkait tindakan flexing harta di kalangan pejabat publik maupun anggota keluarganya di media sosial yang menjadi sorotan. Hal ini bermula dari kasus penganiayaan yang dilakukan oleh anak mantan pejabat pajak, Mario Dandy Satrio (MDS) dan rekannya (SL) & (AG) terhadap C. David Ozora. Aksi penganiayaan brutal itu dilakukan hingga David berada dalam keadaan tidak sadarkan diri alias koma.

Kegeraman publik semakin tersulut kala beredar video penganiayaan yang dilakukan MDS dengan memukul bagian kepala David berkali-kali, disertai arogansi MDS atas kekuasaan yang dimiliki keluarganya. Akibat kegeraman publik terhadap identitas MDS maka terungkap bahwa keluarga mantan pejabat pajak, Rafael Alun Simbolon ini kerap memamerkan kekayaan dalam sejumlah video dan foto yang diunggah dalam akun sosial medianya. Gaya hidup mewah pejabat khususnya jajaran kementrian keuangan ini telah menimbulkan persepsi negatif dan erosi kepercayaan dari seluruh masyarakat terhadap kementrian keuangan.

Persoalan terus merembet hingga memunculkan pertanyaan publik tentang asal sumber kemewahan yang dinikmati pejabat seperti yang disampaikan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.

"Ini menimbulkan pertanyaan yang sangat serius, legitimate dari masyarakat mengenai 'dari mana sumber kemewahan itu diperoleh?'," tegas Sri Mulyani dalam konferensi pers yang ditayangkan Kompas TV, Jumat (24/2/2023).

Pengintaian pejabat publik melalui metode open source atau analisis lewat media sosial sudah menghasilkan banyak nama-nama pejabat publik yang melakukan penyimpangan terhadap nilai etika administrasi publik. Nilai etika administrasi publik yang paling sering dilanggar adalah nilai membedakan milik pribadi dengan kantor dan nilai akuntabilitas. Menurut Mahmudi (2017) nilai akuntabilitas adalah kewajiban dalam mengelola, melaporkan, dan mengungkap segala kegiatan yang berkaitan dengan penggunaan sumberdaya publik. Jika terdapat pejabat publik yang diamati bergaya hidup mewah melebihi penghasilan maka akan dilakukan penyelidikan yang lebih dalam menggunakan data laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN). Apabila tidak tercatat maka dilanjutkan ke panggilan komisi pemberantasan korupsi (KPK).

Ada gerakan masif dari warganet yang mulai mendeteksi deretan pejabat dan keluarganya yang suka flexing dan atas kepemilikan harta yang dinilai tak wajar dengan profilnya. Hingga berujung pada sejumlah pejabat negara dicopot dari jabatannya karena gemar pamer gaya hidup keluarganya yang mewah. Berikut beberapa nama pejabat dan keluarganya yang tersorot publik karena gemar melakukan flexing harta:

  • Pejabat pajak di Kanwil Pajak Jakarta, Rafael Alun Trisambodo
  • Sekretaris Daerah Pemprov Riau, SF Hariyanto
  • Kepala kantor BEA Cukai Makassar, Andhi Pramono
  • Plt Bupati Bombana Burhanuddin
  • Kepala kantor BEA Cukai Yogyakarta, Eko Darmanto
  • Kasubag Administrasi Kendaraan Biro Umum Kemensetneg, Esha Rahmansah Abrar
  • Kepala Badan Pertahanan Nasional (BPN) Jakarta Timur, Sudarman Harjasaputra
  • Pegawai Kemenhub, Rizky Alamsyah
  • Direktur Penyelidikan KPK, Brigjen Endar Priantoro

Fenomena Flexing Keluarga Pejabat

flexing terkait insecurity
flexing terkait insecurity

Flexing atau pamer harta kekayaan dilakukan oleh seseorang yang didasari perbedaan maksud dan tujuan. Dalam ilmu psikologi, pamer merupakan bentuk perilaku narsisme yang didorong oleh perasaan insecure. Dilansir melalui Dictionary.com, flexing berasal dari istilah slang dalam bahasa Inggris 'flex' yang berarti pamer. Flexing adalah sebuah istilah untuk menunjukkan bahwa seseorang sangat bangga atau senang dengan sesuatu yang telah dilakukan atau dimiliki. Istilah ini menjadi metafora untuk seseorang yang menunjukkan dengan cara tertentu bahwa mereka pikir mereka lebih baik daripada orang lain.

Tujuan utama seseorang melakukan flexing salah satunya adalah untuk mendapatkan pengakuan dari orang lain atas pencapaiannya. Peneliti psikologi sosial cum Direktur Kajian Representasi Sosial Indonesia, Dr. Risa Permanadeli menjelaskan perilaku doyan pamer yang dilakukan keluarga pejabat ini didorong oleh representasi sosial kekuasaan di beberapa negara khususnya di Indonesia, yang menilai bahwa kekuasaaan dapat direpresentasikan dengan uang.

Flexing dapat disebabkan oleh beberapa hal lainnya seperti tuntutan sosial. Ketika melihat seseorang menggunakan barang yang mewah ia akan segera melakukan hal yang sama karena rasa gengsi yang tinggi. Hal tersebut akan semakin parah apabila ia senang menjadi pusat perhatian. Banyak penelitian yang menyimpulkan bahwa seseorang yang kesepian, tidak percaya diri, atau sedang merasa sedih akan membeli barang mewah. Kemudian, barang yang dimiliki akan dipamerkan supaya mendapatkan perhatian atau divalidasi dari lingkungan sekitarnya.

Selain itu, kebiasaan belanja di kalangan orang kaya telah dipelajari Rachel Sherman, seorang profesor sosiologi di New School for Social Research, New York dalam bukunya yang berjudul Uneasy Street: The Anxieties of Affluence. Sherman memaparkan bahwa di antara orang kaya yang ia teliti, ternyata sebagian besar orang kaya justru hidup hemat dan membelanjakan uang dengan "normal", mereka sangat hati-hati dengan implikasi moral dari privilege yang mereka dapatkan. Sherman berpendapat, kebiasaan hemat itulah yang menjadi salah satu cara menilai apakah baik atau buruknya orang kaya tersebut secara moral.

Hal ini serupa dengan pendapat Guru Besar Ilmu Manajemen Universitas Indonesia, Rhenald Kasali yang menggambarkan fenomena flexing ini melalui pepatah poverty screams but wealth whispers yaitu orang kaya sejatinya cenderung lebih membutuhkan privasi dan tidak suka menjadi pusat perhatian, sedangkan sebaliknya orang miskin selalu ingin menunjukkan dirinya.

Sudah sepantasnya bagi pejabat publik untuk menghindari flexing secara berlebihan. Apabila etika pejabat publik tidak segera diperbaiki maka akan berdampak kepada kepercayaan masyarakat. Padahal partisipasi masyarakat menjadi hal penting dalam penyusunan kebijakan publik. Hal tersebut dapat dilakukan dengan bersyukur terhadap apapun yang dimiliki, tidak menganggap orang lain sebagai saingan dalam hal kekayaan, fokus terhadap kepentingan publik, berpikir kritis, dan berhenti mencari validitas. Apabila perilaku flexing pejabat semakin tinggi maka memungkinkan lahirnya masyarakat yang terlalu konsumtif. Media sosial sudah seharusnya dijadikan sebagai sarana untuk mempermudah interaksi masyarakat bukan memamerkan barang mewah dari uang rakyat. Sebagai aktor publik sudah seharusnya pemerintah bersikap selayaknya teladan bagi masyarakat. Mulailah dengan memperhatikan masyarakat dengan kelas ekonomi ke bawah. Dibandingkan sibuk terlihat kaya bukankah lebih baik membagi kekayaan. Jadikan kritik sebagai pengingat atas hal yang harus diperbaiki bukan sebagai bahan yang menjatuhkan dan mempermalukan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun