Flexing dapat disebabkan oleh beberapa hal lainnya seperti tuntutan sosial. Ketika melihat seseorang menggunakan barang yang mewah ia akan segera melakukan hal yang sama karena rasa gengsi yang tinggi. Hal tersebut akan semakin parah apabila ia senang menjadi pusat perhatian. Banyak penelitian yang menyimpulkan bahwa seseorang yang kesepian, tidak percaya diri, atau sedang merasa sedih akan membeli barang mewah. Kemudian, barang yang dimiliki akan dipamerkan supaya mendapatkan perhatian atau divalidasi dari lingkungan sekitarnya.
Selain itu, kebiasaan belanja di kalangan orang kaya telah dipelajari Rachel Sherman, seorang profesor sosiologi di New School for Social Research, New York dalam bukunya yang berjudul Uneasy Street: The Anxieties of Affluence. Sherman memaparkan bahwa di antara orang kaya yang ia teliti, ternyata sebagian besar orang kaya justru hidup hemat dan membelanjakan uang dengan "normal", mereka sangat hati-hati dengan implikasi moral dari privilege yang mereka dapatkan. Sherman berpendapat, kebiasaan hemat itulah yang menjadi salah satu cara menilai apakah baik atau buruknya orang kaya tersebut secara moral.
Hal ini serupa dengan pendapat Guru Besar Ilmu Manajemen Universitas Indonesia, Rhenald Kasali yang menggambarkan fenomena flexing ini melalui pepatah poverty screams but wealth whispers yaitu orang kaya sejatinya cenderung lebih membutuhkan privasi dan tidak suka menjadi pusat perhatian, sedangkan sebaliknya orang miskin selalu ingin menunjukkan dirinya.
Sudah sepantasnya bagi pejabat publik untuk menghindari flexing secara berlebihan. Apabila etika pejabat publik tidak segera diperbaiki maka akan berdampak kepada kepercayaan masyarakat. Padahal partisipasi masyarakat menjadi hal penting dalam penyusunan kebijakan publik. Hal tersebut dapat dilakukan dengan bersyukur terhadap apapun yang dimiliki, tidak menganggap orang lain sebagai saingan dalam hal kekayaan, fokus terhadap kepentingan publik, berpikir kritis, dan berhenti mencari validitas. Apabila perilaku flexing pejabat semakin tinggi maka memungkinkan lahirnya masyarakat yang terlalu konsumtif. Media sosial sudah seharusnya dijadikan sebagai sarana untuk mempermudah interaksi masyarakat bukan memamerkan barang mewah dari uang rakyat. Sebagai aktor publik sudah seharusnya pemerintah bersikap selayaknya teladan bagi masyarakat. Mulailah dengan memperhatikan masyarakat dengan kelas ekonomi ke bawah. Dibandingkan sibuk terlihat kaya bukankah lebih baik membagi kekayaan. Jadikan kritik sebagai pengingat atas hal yang harus diperbaiki bukan sebagai bahan yang menjatuhkan dan mempermalukan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H