Beberapa waktu terakhir publik diramaikan dengan adanya pemberitaan terkait tindakan flexing harta di kalangan pejabat publik maupun anggota keluarganya di media sosial yang menjadi sorotan. Hal ini bermula dari kasus penganiayaan yang dilakukan oleh anak mantan pejabat pajak, Mario Dandy Satrio (MDS) dan rekannya (SL) & (AG) terhadap C. David Ozora. Aksi penganiayaan brutal itu dilakukan hingga David berada dalam keadaan tidak sadarkan diri alias koma.
Kegeraman publik semakin tersulut kala beredar video penganiayaan yang dilakukan MDS dengan memukul bagian kepala David berkali-kali, disertai arogansi MDS atas kekuasaan yang dimiliki keluarganya. Akibat kegeraman publik terhadap identitas MDS maka terungkap bahwa keluarga mantan pejabat pajak, Rafael Alun Simbolon ini kerap memamerkan kekayaan dalam sejumlah video dan foto yang diunggah dalam akun sosial medianya. Gaya hidup mewah pejabat khususnya jajaran kementrian keuangan ini telah menimbulkan persepsi negatif dan erosi kepercayaan dari seluruh masyarakat terhadap kementrian keuangan.
Persoalan terus merembet hingga memunculkan pertanyaan publik tentang asal sumber kemewahan yang dinikmati pejabat seperti yang disampaikan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.
"Ini menimbulkan pertanyaan yang sangat serius, legitimate dari masyarakat mengenai 'dari mana sumber kemewahan itu diperoleh?'," tegas Sri Mulyani dalam konferensi pers yang ditayangkan Kompas TV, Jumat (24/2/2023).
Pengintaian pejabat publik melalui metode open source atau analisis lewat media sosial sudah menghasilkan banyak nama-nama pejabat publik yang melakukan penyimpangan terhadap nilai etika administrasi publik. Nilai etika administrasi publik yang paling sering dilanggar adalah nilai membedakan milik pribadi dengan kantor dan nilai akuntabilitas. Menurut Mahmudi (2017) nilai akuntabilitas adalah kewajiban dalam mengelola, melaporkan, dan mengungkap segala kegiatan yang berkaitan dengan penggunaan sumberdaya publik. Jika terdapat pejabat publik yang diamati bergaya hidup mewah melebihi penghasilan maka akan dilakukan penyelidikan yang lebih dalam menggunakan data laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN). Apabila tidak tercatat maka dilanjutkan ke panggilan komisi pemberantasan korupsi (KPK).
Ada gerakan masif dari warganet yang mulai mendeteksi deretan pejabat dan keluarganya yang suka flexing dan atas kepemilikan harta yang dinilai tak wajar dengan profilnya. Hingga berujung pada sejumlah pejabat negara dicopot dari jabatannya karena gemar pamer gaya hidup keluarganya yang mewah. Berikut beberapa nama pejabat dan keluarganya yang tersorot publik karena gemar melakukan flexing harta:
- Pejabat pajak di Kanwil Pajak Jakarta, Rafael Alun Trisambodo
- Sekretaris Daerah Pemprov Riau, SF Hariyanto
- Kepala kantor BEA Cukai Makassar, Andhi Pramono
- Plt Bupati Bombana Burhanuddin
- Kepala kantor BEA Cukai Yogyakarta, Eko Darmanto
- Kasubag Administrasi Kendaraan Biro Umum Kemensetneg, Esha Rahmansah Abrar
- Kepala Badan Pertahanan Nasional (BPN) Jakarta Timur, Sudarman Harjasaputra
- Pegawai Kemenhub, Rizky Alamsyah
- Direktur Penyelidikan KPK, Brigjen Endar Priantoro
Fenomena Flexing Keluarga Pejabat
Flexing atau pamer harta kekayaan dilakukan oleh seseorang yang didasari perbedaan maksud dan tujuan. Dalam ilmu psikologi, pamer merupakan bentuk perilaku narsisme yang didorong oleh perasaan insecure. Dilansir melalui Dictionary.com, flexing berasal dari istilah slang dalam bahasa Inggris 'flex' yang berarti pamer. Flexing adalah sebuah istilah untuk menunjukkan bahwa seseorang sangat bangga atau senang dengan sesuatu yang telah dilakukan atau dimiliki. Istilah ini menjadi metafora untuk seseorang yang menunjukkan dengan cara tertentu bahwa mereka pikir mereka lebih baik daripada orang lain.
Tujuan utama seseorang melakukan flexing salah satunya adalah untuk mendapatkan pengakuan dari orang lain atas pencapaiannya. Peneliti psikologi sosial cum Direktur Kajian Representasi Sosial Indonesia, Dr. Risa Permanadeli menjelaskan perilaku doyan pamer yang dilakukan keluarga pejabat ini didorong oleh representasi sosial kekuasaan di beberapa negara khususnya di Indonesia, yang menilai bahwa kekuasaaan dapat direpresentasikan dengan uang.