Kalian pasti pernah mendengar ungkapan "Kalau pernah selingkuh, pasti bakal selingkuh lagi", kan? Ungkapan ini sering kali diucapkan sebagai peringatan bagi mereka yang pernah terlibat dalam perselingkuhan, mengisyaratkan bahwa orang yang pernah berselingkuh akan cenderung mengulang perilaku tersebut di masa depan. Tapi, apakah benar begitu adanya?
Sebagai anak muda yang hidup di era modern, mari kita lihat konsep ini dari sudut pandang psikologi. Pertama-tama, penting untuk memahami bahwa setiap individu unik dan kompleks, dan perilaku manusia tidak bisa diprediksi secara pasti hanya berdasarkan satu kejadian. Selingkuh adalah tindakan yang melibatkan banyak faktor, seperti emosi, kepuasan dalam hubungan, dan situasi kehidupan seseorang. Maka, ungkapan "sekali selingkuh, bakal selingkuh lagi" perlu ditinjau dengan lebih mendalam.
Faktor Seseorang Berselingkuh
Pertama, mari kita bicarakan mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi kecenderungan seseorang untuk berselingkuh. Psikolog terkemuka, Dr. Shirley Glass, dalam bukunya yang berjudul "Not 'Just Friends': Rebuilding Trust and Recovering Your Sanity After Infidelity" menyatakan bahwa ada beberapa faktor yang memainkan peranan penting dalam perselingkuhan. Salah satu faktor tersebut adalah ketidakpuasan dalam hubungan.
Sebagai manusia, kita cenderung mencari kepuasan dan kebahagiaan dalam kehidupan kita, termasuk dalam hubungan romantis. Ketika seseorang merasa tidak puas dalam hubungannya, baik secara emosional maupun fisik, maka mereka mungkin lebih rentan terhadap godaan untuk berselingkuh. Seseorang yang merasa diabaikan, terisolasi, atau tidak mendapatkan kebutuhan yang dipenuhi dalam hubungan, mungkin mencari pelarian di luar hubungan tersebut.
Namun, penting juga untuk diingat bahwa perselingkuhan tidak selalu merupakan tanda ketidakpuasan dalam hubungan. Ada banyak alasan kompleks mengapa seseorang memilih untuk berselingkuh, seperti keinginan untuk mencari kegembiraan baru. Beberapa orang mungkin merasa terjebak dalam rutinitas dan monotonnya kehidupan sehari-hari, dan mereka mencari sensasi dan kegembiraan yang hilang dalam hubungan mereka. Perselingkuhan dapat menjadi jalan bagi mereka untuk merasakan semburan adrenalin dan kegembiraan yang mungkin sudah lama mereka rindukan.
Dalam beberapa kasus, perselingkuhan juga dapat dipengaruhi oleh kebutuhan untuk mengisi kekosongan emosional atau perasaan terlupakan. Seseorang mungkin merasa tidak dihargai, diabaikan, atau tidak mendapatkan perhatian yang memadai dalam hubungan mereka. Hal ini dapat mendorong mereka untuk mencari kehangatan, perhatian, atau penerimaan dari pihak lain. Mereka mencari kepuasan emosional yang mereka rasa kurang dalam hubungan mereka saat ini.
Selain ketidakpuasan dalam hubungan, faktor lain yang dapat memengaruhi kecenderungan seseorang untuk berselingkuh adalah masalah pribadi atau emosional yang dialami individu tersebut. Misalnya, seseorang yang mengalami ketidakstabilan emosional, kekurangan perhatian, atau kebutuhan akan pengakuan dan validasi diri mungkin rentan terhadap perselingkuhan sebagai cara untuk memenuhi kebutuhan mereka.
Selain itu, ada juga faktor eksternal yang dapat mempengaruhi kecenderungan seseorang untuk berselingkuh, seperti kehadiran kesempatan dan godaan yang menggoda. Misalnya, jika seseorang sering berada di lingkungan sosial di mana norma-norma setia tidak ditekankan atau dihormati, mereka mungkin lebih mungkin terlibat dalam perselingkuhan.
Namun, meskipun ada faktor-faktor ini yang dapat mempengaruhi kecenderungan seseorang untuk berselingkuh, penting untuk diingat bahwa setiap individu memiliki kebebasan dan tanggung jawab atas pilihan mereka. Meskipun mungkin ada faktor-faktor yang membuat seseorang lebih rentan terhadap perselingkuhan, bukan berarti mereka tidak memiliki kendali atas perilaku mereka. Setiap orang memiliki kemampuan untuk melakukan refleksi, mengambil tanggung jawab, dan mengubah perilaku mereka.
Penting untuk diingat bahwa mencari kegembiraan baru atau memenuhi kebutuhan emosional yang terabaikan tidak harus selalu berarti melalui perselingkuhan. Ada cara-cara yang lebih sehat dan membangun untuk mengatasi ketidakpuasan atau kekosongan dalam hubungan. Komunikasi yang jujur, saling mendengarkan, dan bekerja sama untuk memperbaiki masalah dapat menjadi langkah-langkah yang efektif dalam membangun hubungan yang lebih memuaskan.
Apakah Benar Perselingkuhan Akan Terulangi?
Jadi, apakah benar ungkapan "sekali selingkuh, bakal selingkuh lagi"? Tidak selalu. Setiap individu memiliki potensi untuk belajar dari pengalaman mereka, tumbuh, dan mengubah perilaku mereka. Meskipun ada kecenderungan bagi beberapa orang untuk mengulang perilaku perselingkuhan, tidak ada yang benar-benar ditakdirkan untuk selalu berselingkuh. Setiap orang memiliki kesempatan untuk memperbaiki diri, belajar dari kesalahan, dan membangun hubungan yang jujur dan setia.
Masyarakat kita sering kali menganggap perselingkuhan sebagai hal yang tabu dan tidak diterima. Namun, penting untuk melihat persoalan ini dengan pemahaman yang lebih luas. Budaya, norma, dan nilai-nilai yang berlaku di masyarakat memainkan peran penting dalam membentuk sikap kita terhadap perselingkuhan. Namun, sebagai anak muda yang terbuka dan kritis, kita perlu menggali lebih dalam untuk memahami kompleksitas individu dan hubungan manusia.
Dalam menghadapi isu perselingkuhan, penting untuk memperhatikan pendekatan yang holistik dan empati. Kita perlu mendorong komunikasi terbuka, kejujuran, dan pemahaman dalam hubungan kita. Bukan hanya sekadar menyalahkan atau menghakimi, tapi juga mencoba memahami alasan di balik perilaku tersebut. Dengan cara ini, kita dapat membangun budaya yang lebih inklusif, mendukung pertumbuhan pribadi, dan mempromosikan hubungan yang sehat.
Dalam artikel ini, kita telah menjelajahi konsep "sekali selingkuh, bakal selingkuh lagi" dengan pendekatan psikologis. Meskipun ada faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kecenderungan seseorang untuk berselingkuh, tidak ada yang ditakdirkan untuk selalu melakukan perselingkuhan. Setiap individu memiliki kebebasan dan tanggung jawab atas pilihan mereka. Dalam menghadapi isu perselingkuhan, kita perlu memahami kompleksitas individu dan hubungan manusia serta membangun budaya yang inklusif dan mendukung. Ingatlah, setia itu pilihan, dan kita semua memiliki kemampuan untuk memilih dan bertanggung jawab atas tindakan kita.
Referensi:
- Glass, S. (2003). Not 'Just Friends': Rebuilding Trust and Recovering Your Sanity After Infidelity. Free Press.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H