Mohon tunggu...
Adnan Anwar
Adnan Anwar Mohon Tunggu... -

Indahnya berbagi ilmu dan pengalaman

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Tolong-tolong !

26 Mei 2011   09:26 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:12 36
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Tolong-tolong!” Sekali lagi suara itu datang. “ Siapa itu?” tanyaku sambil melihat sekeliling. Tetapi tidak ada yang menjawab, kupikir juga wajar karena aku sedang sendirian sehingga tidak ada orang lain di sekelilingku. Aneh, darimana datangnya suara itu? Aku benar-benar terganggu akan keberadaan suara itu.

Semenjak aku masuk ke Sekolah Menengah Umum, itulah mulai datangnya suara-suara itu. Mengapa ? Mengapa harus pada waktu itu? Mengapa tidak dari dulu? Pertanyaan-pertanyaan itu selalu ada dalam pikiranku. Kuakui semenjak aku sekolah di SMU ini, kehidupanku mulai berubah. Dari ibadahku sampai hubunganku dengan masyarakat. Dulu aku rajin beribadah dan selalu tepat waktu, dulu aku selalu hormat kepada orang lain tetapi sekarang? Ibadahku selalu molor, bahkan tidak aku lakukan, dengan orang lain pun aku mulai ”njangkar”, bahkan sekarang aku juga mulai punya kebiasaan buruk yaitu merokok dan minum minuman keras.

Rumahku di desa yang bernama Sanden, dekat dengan pantai selatan. Semenjak Tk sampai SLTP aku sekolah di sana, dan baru kali ini aku sekolah di kota. Kata oran-orang di desaku ”Negara”. Karena jaraknya yang amat jauh maka aku pun kost di dekat SMU sekolahku tersebut. Keadaan inilah yang selalau menjadi dalil bagi orang tuaku untuk memarahiku ketika hari Minggu aku pulang dalah keadaan mabuk.

”Kamu itu sudah terpengaruh oleh budaya kota yang tidak baik, Nduk. Kendalikan dirimu, sadarlah!” Kudengar orang tuaku menasehatiku di suatu malam Minggu. Dan itulah yang selalu dikatakan oleh mereka jika aku pulang agar aku sadar dari kejahilianku.

”Ingat pesan orang tuamu, Nduk. Jangan mudah terpengaruh oleh budaya kota yang tidak baik. Jangan berteman dengan anak yang sudah hancur akhlaknya, pilihlah teman yang baik, yang pintar, yang sholeh, supaya kamu ikut ketularan kebaikan mereka. Ingat itu ya, Nduk!” Begitulah kata-kata yang selalu kudengar dari mulut bapak pada malam Senin, di mana aku akan kembali ke kota.

Hari Senin seperti biasa, pulang sekolah aku berkumpul dengan temen-temen akrabku. Tidak kusangka, nasehat Bapak yang baru tadi malam diucapkan, hari ini telah hilang dari benakku. Buktinya, ketika aku diajak oleh temanku untuk minum, aku langsung mau saja tanpa beban apa-apa.

”Tolong-tolong!!” Suara itu datang lagi ketika aku baru menenggak segelas minuman keras. Tetapi tidak aku pedulikan. ”Toloooooooooong-toloooo......ng!!!!!” Suara itu semakin keras saja, dan semakin keras seiring dengan banyaknya minuman keras yang masuk ke perutku. ”Pergiii..... Pergiiii.... Pergilah dariku ...... pergi .........!!”

Teriakku dalam keadaan mabuk berat.

Mendengar suara itu semakin keras aku segera berhenti minum dan pulang ke kostku. Selama di perjalanan aku benar-benar tidak tenang, baru setelah sampai di kost suara itu mulai melemah dan segera menghilang ketika aku ingat bahwa jam sudah menunjukkan pukul empat sore. Saat itu aku juga ingat untuk menunaikan ibadah sholat Ashar. Entah mengapa setelah selesai sholat perasaanku sedikit tenang, setenang sungai mengalir.

Perasaan itu segera menghilang begitu temanku datang mengajak main PS, dan aku juga tak tahu mengapa, yang jelas aku dengan mudahnya menerima ajakan itu. Perasaanku benar-benar hilang ketika asyik main di depan komputer. Tidak terasa sudah jam setengah tujuh malam, tiba-tiba suara itu muncul lagi. ”Tolong-tolong!! Tolonglah aku!!” suara itu berulang kali menyebut namaku. Kulihat sekelilingku tetapi yang kudapati hanyalah sekawanan orang di depan komputer masing-masing sedang asyik main. Suara itu semakin keras, dan makin keras sampai aku berteriak. ”Pergiiii.... kau....... jangan ganggu aku.....!!!” Orang-orang termasuk temanku memandangiku layaknya memandang orang yang sudah gila. Aku berlari keluar untuk pulang dengan tidak mempedulikan panggilan teman-temanku.

Sebulan semenjak kemunculan suara itu, sudah kulalui dengan kegelisahan hati. Sampai alkhirnya aku tidak tahan lagi. Hari Minggu aku pulang seperti biasa. Aku menceritakan semuanya kepada kedua orang tuaku, tak satupun yang ketinggalan. Dan baru kali ini aku mau mendengar nasehat mereka, baru kali ini juga perasaanku agak tenang semenjak kemunculan suara itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun