Mohon tunggu...
Pietro Netti
Pietro Netti Mohon Tunggu... wiraswasta -

Pribadi Independen, Penghuni Rumah IDE, KARYA & KREASI. Kupang-Nusa Tenggara Timur. \r\n\r\nhttp://pietronetti.blogspot.com, \r\nhttp://rumahmuger.blogspot.com.\r\n

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Toleransi Indonesia Di Ujung Tanduk?

27 Januari 2016   02:12 Diperbarui: 27 Januari 2016   02:47 100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Penampilan Grup Qasidah Masjid Mujahidin Oepura di Gereja Gunung Sinai Naikolan "][/caption]

Awal tahun ini, tahun 2016, saya ingin mengawali tulisan saya dengan mengangkat tema tentang Toleransi dan Kerukunan Hidup Antar Umat Beragama di Indonesia. Tema ini menjadi fokus perhatian saya, karena masih saja terjadi beberapa peristiwa yang menciderai toleransi dan kerukunan hidup antar umat beragama di negeri tercinta ini di sepanjang tahun 2015 silam.

Sebut saja pembakaran Masjid di Tolikara-Papua sampai dengan pembongkaran/pembakaran Gereja-gereja di Singkil-Aceh, dan masih banyak lagi peristiwa yang tidak bisa saya sebutkan satu per satu. Intinya, peristiwa-peristiwa tersebut bukan hanya menciderai rasa kemanusiaan, tapi lebih daripada itu, merongrong falsafah dan/atau pandangan hidup bangsa Indonesia sendiri. Jika sudah menyangkut falsafah/pandangan hidup bangsa maka harga diri pemerintahlah yang menjadi taruhan.

Memulai tulisan ini, saya ingin mengetengahkan beberapa pertanyaan yang tidak perlu dijawab, karena memang pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak untuk dijawab dengan kata-kata yang cuma tampak manis di bibir dan indah di atas kertas

Pernahkah kita membayangkan ada seorang Ustad atau Imam Masjid, Pedanda atau Pendeta Hindu yang memberikan ceramah/refleksi dan/atau berkhotbah di dalam sebuah kebaktian di Gereja? Pernahkah kita mendengarkan ucapan/perkataan/sapaan “Assalamualaikum Wr. Wb.” dan/atau “Om Santi Santi Om” kepada umat/jemaat yang hadir dalam sebuah kebaktian Gereja? Pernahkah kita melihat ada sekelompok pemuda/remaja Masjid yang membawakan/mengisi nyanyian Qasidah dalam sebuah tata ibadah di Gereja? Dan pernahkah kita menyaksikan ada sekelompok penari Bali yang mempersembahkan tarian penyembahan mereka kepada sang Pencipta di dalam sebuah prosesi ibadah di Gereja?

[caption caption="Paduan Suara Voice Of Carmel Gereja St. Joseph Naikoten"]

[/caption]

Itulah beberapa pertanyaan yang mustahil untuk mendapatkan jawaban “Ya, pernah!” dari sebagian kita yang masih gemar mempermasalahkan dan/atau mempertentangkan perbedaan.

Ya, perbedaan yang selalu memicu perang dingin, lebih-lebih perbedaan agama dan keyakinan. Perbedaan agama dan keyakinan sudah menjadi borok menahun dan momok menakutkan di negeri yang berbhinneka ini sejak angin reformasi yang memberi kebebasan berpendapat dan berekspresi bertiup kencang tanpa batas di tahun 1998, terlebih lagi saat memasuki era millennium ke-2 tahun 2000. Perbedaan selalu menjadi bahan bakar penyulut pertikaian di antara sesama anak bangsa yang masih mengaku berketuhanan dan berperikemanusiaan.

Perbedaan selalu menjadi kambing hitam bagi kelompok/organisasi massa (ormas) tertentu yang merasa diri paling benar, suci dan kudus. Atas nama kambing hitam tersebut mereka mengukuhkan diri untuk bisa bebas sebebas-bebasnya melakukan tindakan-tindakan anarkis. Mereka adalah kelompok/ormas yang merasa diri baru saja turun dari sorga dan diutus langsung oleh Tuhan sebagai hakim dunia dan, katanya, berjihad di jalan Tuhan. Kali ini, dengan mengatasnamakan Tuhan, mereka sesuka hati melakukan tindakan-tindakan keji yang merusak nilai-nilai kemanusiaan dan keadaban dengan dasar pegangan Ayat-Ayat Suci dan/atau Firman Tuhan. Tuhan menjadi topeng kebiadaban dan kemusrikan mereka.

Razia/sweeping di tempat-tempat hiburan, penyegelan/penutupan tempat-tempat ibadah, pengusiran penganut aliran kepercayaan tertentu, dan bahkan pembakaran rumah-rumah ibadah telah menjadi hal yang wajar dan biasa-biasa saja tanpa bisa dihentikan oleh siapa pun termasuk negara/pemerintah. Kerugian materil-imateril dari pihak-pihak yang dikorbankan menjadi urusan yang harus ditanggung sendiri oleh para korban. Sungguh menyedihkan, kita hidup di era demokrasi dan keterbukaan yang berlandaskan hukum rimba; “Ya, siapa kuat boleh seenaknya berbuat! Siapa lemah bersiaplah dimangsa!”

Negara/pemerintah selalu lalai dan gagal mencegah terjadinya main kuasa-kuasaan dari kelompok-kelompok yang merasa diri diutus langsung dari sorga ini. Dikatakan selalu lalai dan gagal karena negara/pemerintah baru hadir ketika segala sesuatunya sudah menjadi arang dan abu. Ujung-ujungnya, negara/pemerintah hanya bisa berdalih dengan pernyataan andalan: “Kami prihatin…! Kami mengutuk keras….!”

[caption caption="Persembahan Tarian Bali oleh Sanggar Tari Giri Agung Kertabuana di Gereja Gunung Sinai Naikolan "]

[/caption]

Sesungguhnya, rakyat yang menjadi korban tidak membutuhkan pernyataan-pernyataan andalan tersebut, karena pernyataan-pernyataan apa pun itu tidak bisa membalut luka para korban. Yang dibutuhkan hanyalah perhatian, perlindungan dan jaminan dari negara/pemerintah terhadap hak-hak dan kebebasan mereka sebagai warga negara; hak dan kebebasan untuk hidup, berideologi/beragama, dan beribadah. Yang dibutuhkan adalah tindakan preventif dari negara/pemerintah yang bisa mencegah terjadinya tindakan sewenang-wenang dari satu kelompok terhadap kelompok yang lain dan menghindari terjadinya jatuh korban.

Dari berbagai peristiwa yang terjadi, pemerintah dalam hal ini pihak berwewenang yang mengaku melayani dan mengayomi masyarakat seakan tidak berdaya dengan aksi-aksi biadab yang dibungkus dengan tema menegakkan hukum agama ini. Aparat keamanan/penegak hukum ini pun seakan takut dan gentar menghadapi kelompok penjahat yang suka mencatut nama Tuhan ini. “Aneh bin ajaib!” Negara/pemerintah/aparat keamanan ternyata kalah dengan penjahat-penjahat cacingan ini. Kenyataannya memang begitu adanya. Negara terlihat dipaksa bertekuk lutut tak berdaya di hadapan para pengacau biadab ini.

Lagi-lagi “Aneh bin ajaib!” Negera sebesar ini dengan pemerintahan yang kuat yang dilengkapi dengan berbagai alat kelengkapan negara tidak mampu mengatasi para pembuat onar yang hanya seukuran ta’i kambing. Tugas-tugas pemerintah/aparat keamanan dan penegak hukum dirampas dan diambil alih begitu saja oleh segelintir penjahat yang bersembunyi dibalik bendera agama ini.

Rakyat hanya bisa terpaku meratap langit melihat aksi-aksi miris yang dipertontonkan oleh kedua belah pihak. Ya, aksi-aksi bejat para penjahat religius yang dianggap heroik terus saja menjungkirbalikkan hukum positif  di negeri ini yang nota bene adalah negara hukum. Dan ketidakberdayaan aparat keamanan dan penegak hukum sebagai simbol kekuatan dan kedaulatan negara dalam menghadapi para penjahat kutu kupret ini sangat disayangkan. Aksi-aksi kutu kupret ini telah melampaui tugas, tanggung jawab dan wewenang dari aparat keamanan dan penegak hukum, yang menurut hemat saya, sebenarnya sedang melecehkan keberadaan simbol-simbol kekuatan negara ini.

[caption caption="Vocal Group Selemia Voice JGSN"]

[/caption]

Sangat disayangkan memang, sekali lagi, negara masih belum mampu melindungi hak dan menjamin kemerdekaan segenap anak bangsanya. Maraknya pengusiran kelompok/aliran-aliran minoritas, penyegelan/pembongkaran/pembakaran rumah ibadah, larangan-larangan beribadah bagi kelompok/agama tertentu masih menjadi bukti-bukti kegagalan pemerintah dalam melindungi hak dari menjamin kemerdekaan setiap warga negaranya.

Sehingga sangat beralasan jika rakyat menilai bahwa pemerintah dalam hal ini aparat penegak hukum dan aparat keamanan terkesan tidak memiliki cukup nyali untuk menegakkan hukum setegak-tegaknya terhadap kelompok-kelompok yang suka mencatut nama Tuhan ini. Terkesan pula, hukum positif di negeri ini hanya tinggal gusi tanpa gigi tatkala berhadapan dengan hukum-hukum/dalil-dalil agama yang cenderung disalahtafsirkan dan memicu permusuhan di antara sesama umat beragama.

Menutup tulisan ini, saya sebagai warga negara yang masih sangat bangga dengan keberadaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) beserta seluruh simbol kekuatan negara yang terkandung di dalamnya, sangat mengharapkan keberpihakan negara/pemerintah/aparat keamanan dan penegak hukum terhadap Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Negara harus bisa menjamin keamanan, kenyamanan dan hak hidup setiap warga negara yang hidup di negeri tercinta ini. Negara melalui aparat penegak hukumnya harus bisa berdiri di atas, melindungi, mengayomi dan bernyali untuk menindak kelompok-kelompok pengacau yang cenderung bertindak anarkis dan mengancam kelangsungan hidup sesama dengan berlindung di balik Ayat-Ayat Suci dan/atau Firman Tuhan.

Sebagai Negara Hukum, maka Hukum harus menjadi panglima tertinggi. Hukum harus ditegakkan tanpa pandang bulu. Bulu tipis disikat, bulu lebat pun disikat! Cukur sampai rata!

[caption caption="Pose bersama Gubernur NTT, Walikota Kupang & para Pemimpin Umat"]

[/caption] 

Catatan:

Di awal tulisan ini ada beberapa pertanyaan yang saya katakan “tidak perlu dijawab, karena memang pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak untuk dijawab dengan kata-kata.” Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah jawaban dalam bentuk aksi nyata yang bukan sekedar permainan kata-kata. Ya, pertanyaan-pertenyaan di atas terjawab di Kelurahan Naikolan-Kota Kupang-Provinsi Nusa Tenggara Timur dalam acara syukuran/perayaan Natal lintas agama, acara Halal Bihalal Maulid Nabi Muhammad, dan peringatan hari raya Galungan pada Kamis, 7 Januari 2016. Perayaan yang sangat menjunjung tinggi toleransi tersebut dihadiri oleh segenap umat/jemaat lintas agama di wilayah Kelurahan Naikolan.

Syukuran/perayaan yang berlangsung di Rumah Kebaktian Jemaat Gunung Sinai Naikolan ini diawali dengan kebaktian yang dipimpin oleh Pdt. Ch. S. V. Lada-Messakh, S.Si.Teol. (Ketua Majelis Jemaat Gunung Sinai Naikolan). Syukuran/perayaan dengan tema “Hidup Bersama Sebagai Keluarga ALLAH” ini mengahadirkan 4 (empat) pembicara/pengkhotbah/penceramah yang mewakili 4 agama di kelurahan Naikolan yakni Islam, Katholik, Hindu, dan Kristen Protestan. Renungan/khotbah di bawakan secara bergantian dalam satu tata ibadah yang berlangsung khusuk, hikmat dan penuh sukacita.

Syukuran/perayaan juga dimeriahkan dengan puji-pujian dan tarian penyembahan oleh Grup Qasidah Masjid Mujahidin Oepura, Paduan Suara VOICE OF CARMEL Gereja St. Joseph Naikoten, Vocal Group SELEMIA VOICE Jemaat Gunung Sinai Naikolan dan Tarian Bali persembahan Sanggar Giri Agung Kertabuana Kupang. Acara syukuran/perayaan yang diselenggarakan oleh panitia perayaan Kelurahan Naikolan ini dihadiri oleh Walikota Kupang, Jonas Salean dan Gubernur Nusa Tenggara Timur, Frans Lebu Raya, dan sejumlah SKPD.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun