[caption caption="Penampilan Grup Qasidah Masjid Mujahidin Oepura di Gereja Gunung Sinai Naikolan "][/caption]
Awal tahun ini, tahun 2016, saya ingin mengawali tulisan saya dengan mengangkat tema tentang Toleransi dan Kerukunan Hidup Antar Umat Beragama di Indonesia. Tema ini menjadi fokus perhatian saya, karena masih saja terjadi beberapa peristiwa yang menciderai toleransi dan kerukunan hidup antar umat beragama di negeri tercinta ini di sepanjang tahun 2015 silam.
Sebut saja pembakaran Masjid di Tolikara-Papua sampai dengan pembongkaran/pembakaran Gereja-gereja di Singkil-Aceh, dan masih banyak lagi peristiwa yang tidak bisa saya sebutkan satu per satu. Intinya, peristiwa-peristiwa tersebut bukan hanya menciderai rasa kemanusiaan, tapi lebih daripada itu, merongrong falsafah dan/atau pandangan hidup bangsa Indonesia sendiri. Jika sudah menyangkut falsafah/pandangan hidup bangsa maka harga diri pemerintahlah yang menjadi taruhan.
Memulai tulisan ini, saya ingin mengetengahkan beberapa pertanyaan yang tidak perlu dijawab, karena memang pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak untuk dijawab dengan kata-kata yang cuma tampak manis di bibir dan indah di atas kertas.
Pernahkah kita membayangkan ada seorang Ustad atau Imam Masjid, Pedanda atau Pendeta Hindu yang memberikan ceramah/refleksi dan/atau berkhotbah di dalam sebuah kebaktian di Gereja? Pernahkah kita mendengarkan ucapan/perkataan/sapaan “Assalamualaikum Wr. Wb.” dan/atau “Om Santi Santi Om” kepada umat/jemaat yang hadir dalam sebuah kebaktian Gereja? Pernahkah kita melihat ada sekelompok pemuda/remaja Masjid yang membawakan/mengisi nyanyian Qasidah dalam sebuah tata ibadah di Gereja? Dan pernahkah kita menyaksikan ada sekelompok penari Bali yang mempersembahkan tarian penyembahan mereka kepada sang Pencipta di dalam sebuah prosesi ibadah di Gereja?
[caption caption="Paduan Suara Voice Of Carmel Gereja St. Joseph Naikoten"]
Itulah beberapa pertanyaan yang mustahil untuk mendapatkan jawaban “Ya, pernah!” dari sebagian kita yang masih gemar mempermasalahkan dan/atau mempertentangkan perbedaan.
Ya, perbedaan yang selalu memicu perang dingin, lebih-lebih perbedaan agama dan keyakinan. Perbedaan agama dan keyakinan sudah menjadi borok menahun dan momok menakutkan di negeri yang berbhinneka ini sejak angin reformasi yang memberi kebebasan berpendapat dan berekspresi bertiup kencang tanpa batas di tahun 1998, terlebih lagi saat memasuki era millennium ke-2 tahun 2000. Perbedaan selalu menjadi bahan bakar penyulut pertikaian di antara sesama anak bangsa yang masih mengaku berketuhanan dan berperikemanusiaan.
Perbedaan selalu menjadi kambing hitam bagi kelompok/organisasi massa (ormas) tertentu yang merasa diri paling benar, suci dan kudus. Atas nama kambing hitam tersebut mereka mengukuhkan diri untuk bisa bebas sebebas-bebasnya melakukan tindakan-tindakan anarkis. Mereka adalah kelompok/ormas yang merasa diri baru saja turun dari sorga dan diutus langsung oleh Tuhan sebagai hakim dunia dan, katanya, berjihad di jalan Tuhan. Kali ini, dengan mengatasnamakan Tuhan, mereka sesuka hati melakukan tindakan-tindakan keji yang merusak nilai-nilai kemanusiaan dan keadaban dengan dasar pegangan Ayat-Ayat Suci dan/atau Firman Tuhan. Tuhan menjadi topeng kebiadaban dan kemusrikan mereka.
Razia/sweeping di tempat-tempat hiburan, penyegelan/penutupan tempat-tempat ibadah, pengusiran penganut aliran kepercayaan tertentu, dan bahkan pembakaran rumah-rumah ibadah telah menjadi hal yang wajar dan biasa-biasa saja tanpa bisa dihentikan oleh siapa pun termasuk negara/pemerintah. Kerugian materil-imateril dari pihak-pihak yang dikorbankan menjadi urusan yang harus ditanggung sendiri oleh para korban. Sungguh menyedihkan, kita hidup di era demokrasi dan keterbukaan yang berlandaskan hukum rimba; “Ya, siapa kuat boleh seenaknya berbuat! Siapa lemah bersiaplah dimangsa!”
Negara/pemerintah selalu lalai dan gagal mencegah terjadinya main kuasa-kuasaan dari kelompok-kelompok yang merasa diri diutus langsung dari sorga ini. Dikatakan selalu lalai dan gagal karena negara/pemerintah baru hadir ketika segala sesuatunya sudah menjadi arang dan abu. Ujung-ujungnya, negara/pemerintah hanya bisa berdalih dengan pernyataan andalan: “Kami prihatin…! Kami mengutuk keras….!”