Mohon tunggu...
Pieter Sanga Lewar
Pieter Sanga Lewar Mohon Tunggu... Guru - Pasfoto resmi

Jenis kelamin laki-laki

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Spiritualitas MK: Logos, Ethos, dan Pathos

23 Juli 2023   20:30 Diperbarui: 23 Juli 2023   20:33 215
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Makamah Konstitusi (MK) Republik Indonesia sepakat dilahirkan pada tanggal 13 Agustus 2003 bertepatan dengan disahkannya UU Nomor 24 tentang Makamah Konstusi Republik Indonesia. Berdasarkan UU Nomor 24 itu, dalam menjalankan tugasnya mengawal praksis hukum di Tanah Air agar tidak lagi terdapat ketentuan hukum yang keluar dari koridor konstitusi, MK mempunyai empat wewenang, yaitu (1) menguji undang-undang terhadap UUD 1945; (2) memutuskan sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar; (3) memutus pembubaran partai politik;  dan (4) memutus perselisihan hasil pemilihan umum.

         Sementara itu, semua keputusan MK sebagai hasil pelaksanaan kewenangan, bersifat final dan mengikat (final and binding). Putusan MK bersifat final artinya putusan itu langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan  tidak ada "pintu terbuka" untuk upaya hukum lanjutan. Sedangkan putusan MK bersifat mengikat berarti putusan itu tidak hanya berlaku bagi para pihak, tetapi bagi seluruh masyarakat Indonesia. Akibat dari sifatnya, keputusan MK dapat mendorong terjadinya proses politik, seperti amendemen atau mengubah undang-undang atau membuat undang-undang baru yang "sejiwa" dengan UUD 1945 dan menetapkan hasil pemilihan umum; dapat mengakhiri sengketa hukum; membatalkan sebuah keputusan politik dan atau sebuah undang-undang hasil produk politik; menimbulkan  rasa ketidakadilan pihak-pihak yang tidak puas terhadap putusan-putusan MK; dapat terjadi pembusukan hukum terkait dengan lemahnya penegakan hukum karena tidak mempunyai kekuatan memaksa (eksekutorial) sehingga putusan tersebut hanyalah putusan di atas kertas.1

         Namun, keputusan yang bersifat final dan mengikat itu hanyalah sebuah teks, yaitu karya wacana yang dimantapkan dalam tulisan dan secara objektif merupakan dialektik makna dan referensi (sense and reference); makna adalah arti konseptual yang terberi di dalam wacana; sedangkan referensi adalah kenyataan yang diperkatakan melalui wacana.2  Hal ini menunjukkan bahwa para hakim MK yang menghasilkan karya wacana keputusan tersebut merupakan "the man behind the gun" karena mereka memiliki pengetahuan, pengalaman pribadi, pikiran, perasaan, kerinduan, kecemasan, dan imajinasi yang tidak sepenuhnya dapat diperkatakan di dalam teks keputusan. Artinya, sebuah teks keputusan yang baik dan benar sangat tergantung pada konsepsi dan praksis kebaikan dan kebenaran konstitusional para hakim MK.  

        Oleh karena itu, para hakim MK harus "mempersenjatai" dirinya dengan sebuah spiritualitas berkarya untuk merumuskan nilai kebaikan dan kebenaran konstitusional dalam lembar-lembar keputusan. Pertanyaannya sekarang adalah spiritualitas macam apakah yang mampu menjamin hadirnya nilai kebaikan dan kebenaran dalam mengambil sebuah keputusan MK? Aspek atau karakter spiritulitas apakah yang harus dimiliki oleh seorang hakim MK?

***

          Istilah spiritualitas seringkali disalahartikan dan dilihat sebagai sesuatu yang sekonteks dengan agama, keyakinan tertentu, aturan moral, dan tradisi-tradisi. Spiritualitas pada dasarnya bukanlah sesuatu yang formal, terstruktur, dan terorganisir seperti agama pada umumnya. Spiritualitas berasal dari kata spiritus yang artinya adalah nafas kehidupan. Spirit merupakan kekuatan yang tidak terlihat yang memberikan nafas bagi kehidupan kita, menghidupkan kita, dan memberikan kita energi. Spirit membantu kita dalam mendefinisikan kebenaran, keunikan diri sesungguhnya dalam diri kita, dan menegaskan individualitas kita. Spiritualitas memiliki dua komponen yaitu vertikal dan horizontal. Komponen vertikal dalam spiritualitas adalah hasrat untuk melampaui ego atau self-esteem diri. Komponen vertikal ini bisa berkaitan dengan Tuhan, jiwa, alam semesta, kekuatan tertinggi atau sesuatu lainnya. Komponen vertikal lebih kepada perwujudan sesuatu yang tidak dapat dilihat. Sedangkan, komponen horizontal dalam spiritualitas adalah hasrat untuk melayani orang lain dan bumi. Komponen horizontal ini ditunjukkan dengan bagaimana seseorang berusaha untuk membuat perbedaan melalui tindakannya. Komponen horizontal ini lebih kepada perwujudan sesuatu yang dapat dilihat.3

          Dengan demikian, spiritualitas MK merupakan kekuatan yang tak kelihatan yang memberi energi hidup kepada hakim MK untuk membantunya merumuskan nilai kebaikan dan kebenaran dalam suatu keputusan konstitusional yang berkaitan dengan  relasi vertikal dan horizontal. Spiritualitas membantu individu dalam menemukan makna dan tujuan hidupnya dan lebih menunjukkan nilai personalnya. Nilai personal ini merefleksikan hasrat untuk membuat perbedaan dan membantu untuk membuat dunia lebih bermakna. Maka dari itu, memiliki spiritualitas dalam kehidupan sehari--hari sangat penting untuk membuat hakim MK menjadi individu yang utuh dan bermakna. Artinya, menjadi hakim MK sudah saatnya dihayati sebagai vocation (panggilan), bukan sekadar profession (profesi) apalagi avocation (kegemaran). 

         Penghayatan kewenangan hakim MK sebagai  panggilan hidup akan mengkristal dalam tiga karakter spiritualitas hakim MK, yaitu logos, ethos, dan pathos. Ketiga karakter ini dibangun melalui koridor internalisasi tata nilai; menyadari mana yang boleh dan mana yang tidak boleh; membentuk kebiasaan;  dan menjadi teladan pribadi yang berkarakter.4

Karakter Logos

 

         Kata logos berasal dari bahasa Yunani yang berarti 'sabda' atau 'buah pikiran' yang diungkapkan dalam perkataan, pertimbangan nalar atau arti. Dalam tata bahasa, logos diartikan sebagai  kalimat yang lengkap;  dalam logika, logos  diartikan sebagai suatu pernyataan yang berdasarkan kenyataan; dalam retorika, logos  diartikan sebagai  pidato yang tersusun secara tepat.5

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun