Mohon tunggu...
Pierre Goretti
Pierre Goretti Mohon Tunggu... lainnya -

I'm living my truth without your lies… // usahakan tetap waras, berdamailah dan jadilah bahagia :)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sebotol Bir dan Secangkir Coklat Panas IV ( Cangkir Terakhir)

5 Juli 2016   22:45 Diperbarui: 6 Juli 2016   09:09 86
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Maafin aku ya Non, maafin orang-orang seperti aku yang membuat kamu mengalami penyakit ini. Aku pasti mengalami masalah kalau memang kamu pergi meninggalkan aku lebih dulu, tapi yang aku mau sekarang, kamu harus ke rumah sakit, semalam suntuk aku gelisah mikirin kamu, tubuh kamu makin mengecil, nafas kamu makin sesak, pokoknya kamu harus..” Ujang memutar arah tubuhnya, mengambil posisi untuk menggendong Noni dan membawanya ke Rumah Sakit.

“Jang,… penyakit ini … tidak enak,…” Noni berupaya berargumen menahan aksi dari Ujang dengan nafasnya yang tersengal-sengal. “bahkan… bernafas pun… sudah… tidak menyenangkan buat… aku, aku mohon,… biarkan aku menikmati…. sisa hidupku… dengan orang… orang-orang… yang aku sayang…, bukan… dengan obat… dan… para medis.” Kali ini air mata Noni berjatuhan dari matanya yang memohon.

Tak ada lagi kekuatan, Ujang menarik kepala Noni dan meletakkannya di dadanya, Ujang menangis dan mencium kening Noni dengan lekatnya. Tanpa bisa berkata Ujang dan Noni saling berdoa dalam hati, saling meminta kekuatan untuk orang yang disayangi.

“Pakaian aku.. ada di laci itu…., surat aku ada di… bawah pakaianku, buat Mama…, buat Papa dan… buat kamu.”

Ujang ingin menghentikan kicauan dari mulut Noni tapi dia tak mampu berkata dengan semua emosi kesedihan yang sedang ditahannya. Ujang hanya menggeleng-gelengkan kepala dan memeluk Noni semakin erat. Dibalik dinding kamar Noni, dekat pintu kamar yang terbuka lebar, tidak hanya Ujang yang berupaya keras menahan suara dari tangisannya, kedua orang tua Noni, Tante Lady dan Om Subrata ternyata mengawasi pembicaraan mereka dari balik dinding itu, mereka saling berpelukan dan menangis satu sama lain dan menahan suara duka dari dalam jiwa itu.

***

Dengan gaun putih yang didesain dan dijahit sendiri olehnya, Noni terpejam tenang di atas pembaringannya. Wajahnya beriaskan make up natural karya Tante Lady, rambutnya yang dipertahankan panjang diarahkan kedepan seolah selendang hitam menghiasi gaunnya di satu sisi. Ada sedikit senyum di bibirnya yang menandakan kebahagiaannya.

Semua tamu datang dengan mengenakan pakaian sesuai tema yang diajukan Noni, Putih. Alunan music instrument dari salah satu kaset yang pernah diberikan oleh Ujang pun diputar sesuai dengan permintaan Noni.

Terlihat di sisi pembaringan Noni, para tamu datang dan bersalaman dengan Tante Lady dan Om Subrata sambil mengucapkan salam dukacita. Ujang tak perduli dengan semua tamu yang datang, dengan posisi duduk di samping jenazah Noni, Ujang memegang tangan Noni yang terkatup seolah berdoa.

***  

Benar juga kata Noni selama ini, aroma coklat selalu menenangkan, hangatnya mampu menstabilkan perasaan yang tak nyaman. Sambil menyeruput coklat panas, Ujang membaca surat itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun