Mohon tunggu...
Siswa Rizali
Siswa Rizali Mohon Tunggu... Konsultan - Komite State-owned Enterprise

econfuse; ekonomi dalam kebingungan

Selanjutnya

Tutup

Financial

Jiwasraya: Rampok Bersenjata Saham Gorengan

23 Juli 2020   17:48 Diperbarui: 23 Juli 2020   17:59 375
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Finansial. Sumber ilustrasi: PEXELS/Stevepb

Mengikuti perkembangan sidang Jiwasraya, catatan lama di pc saya kembali relevan. versi lebih pendek dari tulisan ini dimuat di Bisnis Indonesia, Selasa, 21 Juli 2020, dengan judul yang sama.

= =   =   =   =

Ketika untung, investor sering merasa punya keahlian dalam memilih saham yang tepat. Namun saat mengalami kerugian, investor malah menyalahkan saham sebagai "saham gorengan".

Saham sebagai bukti kepemilikan perusahaan tentu tidak bisa bertindak aktif merugikan investor. Yang ada adalah manipulasi transaksi saham sehingga terjadi pergerakan harga ekstrem yang mungkin merugikan investor. Manipulasi ini diakui dalam Undang Undang No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, di bagian Bab XI. BEI juga mengenal istilah "Unusual Market Activity" (UMA) yang mengindikasikan adanya aktifitas perdagangan dan/atau pergerakan harga suatu saham yang tidak biasa pada suatu kurun waktu tertentu.

Perspektif Internasional 

International Organization of Securities Commissions (2013) menggunakan istilah upaya manipulasi harga saham seperti "pumping and dumping" dan "boiler room", serta "penny stock" (atau "microcap companies"). Ketiga istilah ini menggambarkan bagaimana saham berkapitalisasi kecil (penny atau microcap), dengan likuiditas rendah, dimanipulasi ("pumping") oleh sekelompok orang ("boiler room") agar harganya naik dan kemudian si manipulator bisa menjual sahamnya ("dumping") pada harga yang jauh lebih tinggi.

Lembaga pemerintah Amerika, seperti Securities and Exchange Commission (SEC, www.investor.gov) dan FBI (www.fbi.gov) juga mengenal istilah manipulasi harga saham diatas.  

Manipulasi harga saham sendiri menjadi studi ilmiah akademisi seperti berikut: Stock market scams, shell companies, penny shares, boiler rooms and cold calling: The UK experience (International Journal of Law, Crime and Justice, 2016).

Maraknya kegiatan manipulasi saham ini menjadi inspirasi film seperti: Wall Street (1987), Boiler Room (2000), dan The Wolf of Wall Street (2013)

Jadi proses manipulasi harga saham, yang sering disebut sebagai "saham gorengan" oleh investor Indonesia, dikenal secara teori, empiris, dan diatur hukum formal di bursa manca negara.

Tahapan Menggoreng Saham

Umumnya saham gorengan kepemilikannya terkonsentrasi di beberapa pemain utama sehingga harganya mudah dimanipulasi. Secara fundamental, perusahaan umumnya berkinerja buruk. Indikasi lain dari saham gorengan adalah valuasi yang tidak masuk akal karena harga saham naik tinggi tanpa dilandasi kinerja fundamental perusahaan. (lihat tulisan kami di Bisnis Indonesia, Mewaspadai Reksa Dana 'Saham Gorengan', 13 Januari 2020).

Untuk menggoreng saham, pengendali saham sebagai 'bandar' akan memilih saham yang nilai kapitalisasi pasarnya kecil. Hal ini untuk memudahkan bandar menguasai dan mengendalikan saham tersebut. Saham ini biasanya juga minim ditransaksikan dan tidak likuid.

Kemudian bandar memastikan bahwa kepemilikan mayoritas saham dikontrol oleh pihak investor yang bersedia bekerjasama untuk tidak menjualnya di bursa saat proses manipulasi menaikkan harga saham berlangsung. Disini bandar dan investor terikat dengan transaksi penjualan saham dengan janji untuk dibeli kembali (Repurchase Agreement, REPO) atau gadai saham.

Dengan transaksi repo saham, bandar bisa mengontrol penawaran saham di bursa tidak berlebihan. Sedangkan investor memperoleh bunga atas modal yang dipinjamkan. Investor tidak memiliki insentif menjual saham, karena potensial menimbulkan kerugian besar atas jaminan pinjamannya.

Menggunakan modal tambahan dari hasil repo saham, bandar secara sistematis menciptakan permintaan dan penawaran semu untuk bertahap menaikkan harga saham. Harga saham naik karena hasil rekayasa si bandar. Pada harga yang lebih tinggi, bandar bisa mencari pendanaan baru dengan Repo saham yang lebih besar lagi. Proses manipulasi atau menggoreng harga saham berlanjut.

Kenaikan harga saham semu tersebut dikombinasikan dengan berita-berita positif tentang rencana ekspansi usaha emiten. Si emiten bisa saja kemudian melakukan aksi korporasi berupa right issue. Si bandar pun meraup lebih banyak dana.

Setelah harga saham naik sangat tinggi, biasanya saham-saham milik bandar akan dijual bertahap kepada investor ritel di bursa. Bandar pun memperoleh keuntungan besar setelah melakukan distribusi kepemilikannya kepada investor ritel pada harga yang lebih tinggi dibandingkan modal dan biaya bunga repo. Contoh-contoh saham gorengan diantaranya Bank Pikko (BNPK), PT Agis (TMPI), PT Trada Maritime (TRAM), PT Sugih Energy (SUGI), Sekawan Intipratama (SIAP), dan PT Laguna Cipta Griya (LCGP).

Kelemahan mekanisme distribusi ke investor ritel adalah: saat investor ritel menyadari dirinya rugi dan melakukan 'cut loss' beramai-ramai, harga saham jatuh secara drastis sebelum bandar sempat menjual semua sahamnya. Dan bila pemilik saham repo benar-benar memiliki proyek yang perlu dibiayai, mekanisme ini akan menyebabkan kesulitan pembiayaan lanjutan proyek sehingga mengalami kegagalan penyelesaian.

Bandar juga menjual saham gorengan kepada investor institusional yang tata kelolanya lemah, seperti dalam kasus Dana Pensiun Pertamina (saham SUGI) dan PT Asuransi Jiwasraya.

Agar terlihat untung di laporan keuangan investor institusi, harga saham-saham gorengan dijual dengan diskon besar. Setelah saham gorengan dijual ke investor institusi, bandar kembali menggoreng harga saham sehingga investor institusional semakin untung pada periode akhir laporan keuangan.

Kepentingan keduanya terpenuhi: si bandar pemilik saham mendapat dana dan si investor institusi memperoleh kinerja yang baik.

Setelah beberapa waktu, masalah timbul bagi investor institusi karena saham tidak bisa dijual untuk realisasi keuntungan. Saat dijual, terjadi koreksi harga ekstrem kembali ke harga awal sebelum bandar melakukan manipulasi harga. Barulah investor institusi mengalami kerugian ratusan miliar sampai triliunan rupiah.

Bandar juga melakukan penjualan saham gorengan menggunakan reksa dana saham dan campuran kepada investor ritel. Bisa juga dari awal sudah ada persetujuan antara investor institusional yang memegang repo saham dengan bandar untuk menitipkan saham-saham yang digoreng di reksa dana eksklusif. Penggunaan reksa dana ini terutama untuk memudahkan bandar mengontrol kepemilikan saham. Selain itu, investor ritel juga dapat menjadi kamuflase skema manipulasi harga saham.

Semua proses transaksi saham gorengan itu berjalan sesuai ketentuan hukum yang ada. Tidak mudah bagi regulator untuk dapat menindak secara hukum terhadap si bandar dan investor repo saham.

Fakta bahwa pejabat investor institusional, seperti Dana Pensiun dan perusahaan Asuransi, adalah orang berpendidikan tinggi yang ahli dibidangnya, maka dapat dipastikan mereka mengerti apa yang terjadi. Satu-satunya alasan transaksi repo saham gorengan terjadi karena mereka punya kepentingan bertindak demikian. Jadi, uang dana pensiun dan asuransi tersebut memang dirampok bersenjatakan saham gorengan.

Sebagai penjaga rumah, maka para direksi dan komisaris perusahaan yang membukakan pintu rumah agar bisa dirampok oleh si bandar penggoreng saham. Karena itu penegak hukum harus bertindak tegas dan menghukum para pelaku seberat-beratnya untuk memperbaiki citra institusi pasar modal Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun