Perhatikan juga argumen bahwa keunggulan Uber selama ini adalah: tidak memiliki mobil dan menggunakan sumber daya secara paruh waktu (dengan cara sharing). Mobil otonom akan menjadikan Uber sebagai pemilik mobil secara penuh waktu. Pada saat bersamaan, perusahaan-perusahaan yang lebih maju dalam bidang mobil otonom, seperti Waymo (Google), Tesla, GM, BMW, dan Mercedes, akan menjadi kompetitor berat Uber.
Wajar bila Tim O'Reilly, pengamat teknologi dan internet, menyatakan penggunaan mobil otonom akan mempercepat kebangkrutan Uber (boingboing.net, 2 Oktober 2017).
Taksi dengan Aplikasi
Fakta-fakta ini menunjukkan bahwa aplikasi pemanggil transportasi taksi or ojek tidak unik dan tidak menciptakan hambatan bagi pesaing untuk masuk ke pasar (barriers to entry). Uber tidak lebih daripada sejenis perusahaan taksi dengan aplikasi pemanggil. Nilai manfaat aplikasinya sangat rendah, maka Uber harus memberi subsidi pengemudi dan diskon kepada konsumen. Akibatnya, pengeluaran terbesar Uber adalah insentif pengemudi dan promosi untuk memperoleh pengguna baru. Dengan model bisnis berbasis subsidi besar dan padat karya, Uber lebih menyerupai 'yayasan sosial' bidang transportasi. Akibatnya, Uber terus rugi besar.
Selama investor Uber (seperti SoftBank dan Public Investment Fund, Arab Saudi) bersedia menanggung rugi tersebut, maka bisnis Uber akan berlanjut. Namun setelah sepuluh tahun, para pendiri dan investor Uber sepertinya ingin segera memperoleh untung besar dengan melakukan IPO. Jadi IPO Uber harus dikritisi oleh investor ritel apakah ini sebuah peluang untuk berinvestasi di perusahaan unggulan berbasis IT atau sebuah skema untuk menyelamatkan kerugian besar yang telah ditanggung oleh investor utama Uber.
Faktanya semua perusahaan aplikasi pemanggil transportasi mengalami kerugian besar di tahun 2018, seperti: Didi Chuxing (China, US$ 1,6 Miliar), Lyft (Amerika, US$ 900 Juta), Ola (India, US$ 380 juta), dan Grab (Asia Tenggara). Kerugian perusahaan aplikasi pemanggil transportasi tersebut berbanding terbalik dengan pencapaian perusahaan taksi tradisional yang memiliki keunggulan nyata di lapangan, seperti Blue Bird, yang terus memperoleh untung mencapai Rp 457 miliar (US$ 33 Juta) di tahun 2018.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H